Lewat mikul duwur mendem jero ini pula juga mengajarkan kita untuk senantiasa andap asor, ojo dumeh, ojo adigang -- adigung -- adiguno, ojo rumongso iso -- ning iso rumongso.
Kita sering dengan begitu gampangnya menjelekan atau menyalahkan satu sama lain. Sementara kita tidak mencoba melongok ke belakang, bahwa kondisi yang kita alami sekarang adalah kesalahan kita semua.
Mari kita terutama dalam hal ini elit politik untuk berjiwa besar, berjiwa dan bersikap pemaaf, mikul dhuwur mendhem jero. Tanamlah yang tidak baik, angkatlah yang baik. Kearifan nenek moyang itulah yang harus kita pedomani. Ojo dumeh, ojo adigung adiguno, ojo lali, ojo kagetan. Ojo rumangsa iso, ning iso rumangsa.
Dari sini pula kita diajak mengenal kearifan lokal sebagai warisan budaya bangsa yaitu mikul dhuwur mendhem jero.
Spirit 'mikul dhuwur mendhem jero' mengajarkan kepada kita tentang arti menjunjung tinggi martabat dan kehormatan seseorang atas jasanya dengan mengubur sedalam-dalamnya kesalahan atas pertimbangan kebaikan ke depannya, dengan tidak secara sengaja mencari kesalahan-kesalahan dan mengungkit-ungkitnya.
Terlepas dari pemahaman membaca bambu mengungkap makna, setidaknya dari keberadaan keaneka-ragaman bambu unik ini, di sini kita diajak untuk membaca, mengagumi tanda-tanda kebesaran alam, sekaligus menjadi bukti atas kebesaran Sang Maha Pencipta, kendati lewat sepotong bambu unik (deling).
Lewat tanda-tanda kebesaran alam walau hanya dari sepotong bambu ini akan semakin menebalkan iman dan keimanan juga ketakjuban kita akan kebesaran Tuhan Semesta Alam sebagai Sang Maha Pencipta. Tak ada yang tak ada atas kehendak kuasaNya.
Semoga roh 'mikul dhuwur mendhem jero' akan senantiasa bersemayam di jiwa pemimpin besar atau orang berjiwa besar berjiwa kesatria, Prabowo -- Sandi. Semoga!
Alex Palit, citizen jurnalis Jaringan Pewarta Independen #SelamatkanIndonesia, penyuka dan kolektor bambu unik, pendiri "Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara' (KPBUN)