Mohon tunggu...
Alex Palit
Alex Palit Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Membaca Bambu Mengungkap Makna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjaga Kemesraan Sosial "Di Bawah Tiang Bendera"

9 Oktober 2017   12:35 Diperbarui: 9 Oktober 2017   12:39 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Franky Sahilatua dan Iwan Fals saat menyanyikan lagu

Di sini saya tidak ingin mengomentari pernyataan Eggi Sudjana di sidang gugatan uji materi terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) di Mahkamah Konstitusi. Di mana ucapan Eggi Sudjana tersebut dinilai tidak pantas dan menyinggung perasaan umat beragama serta dianggap bisa menimbulkan kegaduhan dalam kehidupan keberagamaan. Dan kini pernyataan tersebut menjadi viral di media sosial.

            Di sini saya hanya kembali dingatkan oleh lagu ciptaaan Franky Sahilatua dan Iwan Fals, berjudul "Di Bawah Tiang Bendera".

            Lagu yang mereka ciptakan di tahun 2000, dua tahun setelah Reformasi 1998, di mana lagu ini terinspirasi akibat kegalauan dan keprihatinan kedua penyanyi balada ini melihat semakin merebaknya konflik horisontal bernuansa SARA yang terjadi di sejumlah daerah di tanah air, seperti di Ambon, Poso dan daerah lainnya.

            Ternyata hingga kini memasuki 19 tahun perjalanan Orde Reformasi konflik sosial inipun apinya belum bisa dipadamkan, malahan api amarahnya makin merebak kemana-mana menyulut anarkisme, amuk massa, dan kekerasan sosial lain, sampai di tingkat grass roots.

            Lebih memprihatinkan lagi, banyak di antara konflik sosial hanya beda pendapat dan beda paham disikapi dengan cara-cara memilih jalan keluar lewat tindakan-tindakan anarkisme, teror, amuk massa serta bentuk brutalisme kekerasan lainnya.

            Begitu halnya kita sering dipertontonkan oleh kekerasan-kekerasan sosial yang dipicu dilatari oleh sentimen isu primodialisme ideologis keagamaan, hanya karena beda paham dan keyakinan. Bagaimana kita disuguhi cerita miris hanya lantaran beda pendapat, beda paham dan beda pilihan politik, mereka saling hujat, bahkan sampai disertai tindakan persekusi.

            Benarkah kita yang secara histori kultural dikenal sebagai bangsa yang ramah, rukun, saling menghargai dan menghormati sebagaimana dari cerita yang ada, kini sudah kehilangan kemesraan sosial?

            Indonesia yang secara histori kultural digambarkan sebagai bangsa yang ramah, selalu hidup rukun penuh toleransi saling menghormati dan menghargai yang disemangati oleh warisan budaya kearifan lokal sebagai perekat sosial, kini diperangi oleh radikalisasi fanatisme keyakinan ideologis.

            Apa yang terjadi di hari ini, merebaknya konflik sosial, anarkisme, teror bom, amuk massa dan kekerasan sosial lainya, pemaksaan kehendak dan pembenaran diri atas nama keyakinan ideologis dengan cara-cara teror dan kekerasan menjadi tontonan yang mengerikan. Semua itu ada apa denganmu? Benarkah kini kita sedang dilanda mengalami krisis humanisme? 

            Di sini saya ingin mewakili kedua sahabat saya itu untuk mengajak kita sebagai anak bangsa merenungkan kembali sejarah panjang bangsa ini lewat pemahanan dari sebuah lirik  lagu yang begitu menyentuh fitrah kemanusiaan kita sebagai manusia dan bertuhan, berjudul  "Di Bawah Tiang Bendera".

            Kita adalah saudara dari rahim Ibu Pertiwi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun