Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meneropong Papua dalam Rumah NKRI

1 Mei 2021   07:33 Diperbarui: 1 Mei 2021   07:42 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses evakuasi korban penembakan di Ilaga, Puncak, 27 April 2021. Foto istimewa.

Intensitas konflik di Papua sedang meningkat. Operasi militer Indonesia di kabupaten Nduga, Intan Jaya dan Puncak tidak meredahkan gerakkan perlawanan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Korban berjatuhan mulai dari rakyat sipil, Gembala (Pendeta dan Katekis), militer Indonesia tentara dan polisi serta pejuang Papua merdeka.

Menyikapi gerakkan perlawanan oleh TPNPB di belantara Papua dan diplomasi internasional Papua merdeka oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), maka pada 29 April 2021, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahmud MD mengumumkan TPNPB dan segala organisasi yang berafiliasi dengannya sebagai teroris.

Realitas Papua saat ini mengantar kita untuk bertanya dan menemukan jawabannya, "Siapakah (orang) Papua? Bagaimana sejarah Papua? Bagaimana proses Papua diintegrasikan ke dalam rumah NKRI? Apa yang orang Papua kehendaki?"

Orang Papua selalu bangga memiliki ras melanesia. Ciri khas unik yang melekat adalah kulit hitam dan rambut keriting. Menghayati hidup dalam relasi rangkap empat: Tuhan Allah, roh leluhur, alam dan sesama manusia. Harmoni tercipta melalui penghayatan dan pelaksanaan terhadap empat aspek tersebut. Karena itu, kita menyimak dan mengalami bahwa orang Papua memiliki sikap terbuka, saling berbagi, ramah, berjiwa solider dan rasa empati yang sangat tinggi terhadap setiap pribadi yang ada di sekitarnya.

Pastor Neles Tebay mengatakan, "Untuk mengidentifikasi bahwa ko orang Papua atau bukan, tanya saja, ko punya dusun ada di mana?" Orang Papua terikat pada dusun. Di dusun, ada sumber makanan, tempat keramat dan tempat berlangsungnya beberapa upacara adat. Dusun memegang peran penting dalam seluruh siklus hidup orang Papua. Merawat dusun adalah mutlak bagi orang Papua. Apabila ada pihak dari luar yang mencoba merusak dusun-dusun di Papua dengan alasan apa pun, maka akan menimbulkan konflik berkepanjangan, karena orang Papua akan berdiri mempertahankannya sampai titik darah penghabisan. Sebab, dusun menyangkut identitas dan harga diri orang Papua.

Kita juga menyimak bahwa dari aspek politik, Papua memiliki sejarah sendiri. Kita mengetahui bahwa pada tanggal 1 Desember 1961, orang Papua telah mengibarkan bendera Bintang Kejora, menyanyikan lagu Hai Tanahku Papua dan burung Mambruk ditetapkan sebagai lambang Negara Papua. Orang Papua juga punya mata uang sendiri. Kita bisa menyimak hari bersejarah bagi orang Papua itu dalam catatan-catatan sejarah Papua lengkap dengan foto-foto dan video.

Menyikapi proklamasi pembentukan Negara Papua Merdeka, maka pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Indonesia, Ir. Soekarno mengeluarkan Dekrit Trikora dari Yogyakarta. Sejak dekrit tersebut, operasi militer berlangsung di tanah Papua sampai saat ini. Kita melihat bahwa Papua sudah merdeka, berdiri sebagai bangsa berdaulat selama delapan belas hari. Kemerdekaan itu, lenyap seiring pendudukan militer Indonesia di tanah Papua. Karena itu, sampai saat ini, orang Papua selalu berjuang mendapatkan kembali kedaulatannya sebagai bangsa merdeka yang telah diambil oleh Indonesia.

Situasi Papua memanas. Operasi militer Indonesia tidak menyurutkan perlawanan orang Papua. Pemerintah Amerika Serikat berinisiatif mempertemukan pemerintah Kerajaan Belanda dan Indonesia melalui perundingan di New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Perundingan itu tidak menghadirkan (melibatkan) satu pun orang Papua. Salah satu poin penting dari Perjanjian New York adalah akan dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua dengan sistem satu orang satu suara.

Misi perdamaian PBB bernama United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pun terbentuk pada 1 Oktober 1962. UNTEA bertugas menjalankan pemerintah di Papua Barat selama satu tahun (1962-1963). Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan Papua Barat ke Indonesia untuk selanjutnya  mempersiapkan pelaksanaan Pepera.

Tabel pelaksanaan Pepera 1969 dalam buku Djopari (1993,75). Dokpri.
Tabel pelaksanaan Pepera 1969 dalam buku Djopari (1993,75). Dokpri.
Pepera dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 1969. Waktu itu, jumlah penduduk Papua berjumlah 809.337 jiwa, tetapi Pepera hanya diikuti oleh 1.025 orang. Di antara peserta tersebut, banyak yang bukan orang asli Papua. Padahal, Pepera seharusnya melibatkan semua orang asli Papua dengan menerapkan prinsip 'one man one vote.'

Bagaimana menjelaskan kepada orang Papua dan umat manusia di muka bumi ini bahwa Papua sudah final di dalam rumah NKRI melalui proses Pepera yang tidak adil, penuh intimidasi dan teror serta hanya melibatkan 1.025 orang di Papua? Kita melihat bahwa sejarah masuknya Papua ke dalam rumah NKRI adalah sejarah yang gelap dan bengkok, maka perlu diluruskan dan diletakkan pada posisi sebenarnya.

Kita belajar bahwa sejarah integrasi Papua ke dalam rumah NKRI bermasalah serius. Tampak jelas bagi kita bahwa orang Papua sudah membangun rumahnya sendiri, rumah negara Papua, tetapi Indonesia datang memaksa orang Papua masuk ke dalam rumah negara NKRI. Dampaknya, meskipun Indonesia mengklaim Papua sudah final di dalam rumah NKRI, gelombang perlawanan orang Papua tetap bergelora. Sebab, orang Papua memegang keyakinan ideologi Papua merdeka.

Di sisi lain, kita melihat bahwa Indonesia berupaya memasukkan orang Papua ke dalam rumah negara NKRI, tetapi bagaimana perlakuan Indonesia terhadap orang Papua? Kita harus mengakui dengan jujur dan terbuka bahwa orang Papua tidak merasa aman, nyaman, damai, makmur dan sejahtera tinggal di dalam rumah NKRI. Indikatornya sederhana, sejak diintegrasikan ke dalam rumah NKRI, orang Papua tidak merasa manjadi bagian dari Indonesia. Orang Papua merasa dan mengalami hidup sebagai anak tiri di dalam rumah NKRI.

Mengapa orang Papua selalu bilang, "Papua bukan Indonesia?" Seorang aktivis bercerita, "Pemerintah Indonesia paksa kami tinggal di dalam rumah NKRI, tetapi mereka tembak kami. Mereka bunuh kami punya orang tua sampai generasi kami saat ini. Mereka kasih masuk perusahaan seenaknya, tanpa bicara dengan kami yang punya tanah ini."

Kita mengakui bahwa selama ini, pemerintah Indonesia menghadapi tuntutan keadilan atas hak-hak dasar orang Papua dengan pendekatan keamanan (militer). Setiap suara orang Papua dibungkam dengan senjata dan pasal makar. Ke depan, pasal-pasar teroris akan menggiring orang Papua masuk penjara karena sejak 29 April 2021, Indonesia telah menetapkan TPNPB dan organisasi afiliasinya adalah teroris.

Sejak tinggal di dalam rumah NKRI, tanah alam Papua dan manusia orang Papua mengalami penderitaan tak berkesudahan. Ratap tangis, air mata dan kematian tak pernah berakhir. Demikian halnya, hutan alam menjadi kebun kelapa sawit dan gunung-gunung menganga lebar menyisakan pasir menutupi sungai dan rawa-rawa. Sumber-sumber makanan di dusun lenyap. Tempat keramat menghilang. Orang Papua tercabut dari akar hidupnya, hutan dusun dan budaya tergerus pembangunan yang tidak kontekstual Papua. 

Bilamana rumah NKRI tidak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi orang Papua, maka perjuangan untuk keluar dan mendirikan rumah Papua merdeka tetap menjadi kerinduan yang akan selalu diperjuangkan sampai akhir. Sebab, pada hakikatnya, manusia, siapa pun selalu merindukan hidup makmur, damai sejahtera dan umur panjang. Orang Papua pun merindukannya. Karena itu, pemerintah Indonesia perlu lebih memikirkan pendekatan kemanusiaan dalam menyelesaiakan permasalahan Papua. 

Selain itu, bangsa Indonesia, yang menempatkan Tuhan pada sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang Maha Esa," seyogianya mau membuka ruang-ruang dialog dan perundingan dengan orang Papua. Sebagai bangsa yang menghormati hak asasi manusia, pemerintah Indonesia perlu membuka diri dan menerima tawaran dialog yang bermartabat dan terbuka. Sebab, bagaimana Indonesia mengakui Tuhan sang Pencipta, sekaligus melakukan operasi militer yang menelan korban jiwa atas nama negara di tanah Papua?

Pater Neles Tebay bilang, "Mari Kitorang Bicara!" Dialog merupakan jalan untuk menemukan permasalahan Papua dan berusaha menguraikan serta menyelesaikannya secara menyeluruh. Dialog bisa terlaksana kalau pemerintah Indonesia dan orang Papua saling terbuka untuk mengkahiri konflik Papua. Kedua belapihak harus melepaskan ideologi, "NKRI harga mati dan Papua Merdeka harga mati!" Kedunya harus terlebih dahulu membangun sikap saling percaya, terbuka tanpa prasangka buruk satu sama lain. Dengan demikian, dialog pemerintah Indonesia dan orang Papua bisa terlaksana dan menghasilkan buah-buah yang baik bagi kedua belapihak. [Nbr, 1 Mei 2021].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun