Mohon tunggu...
Petrus Dayu
Petrus Dayu Mohon Tunggu... Auditor - freelance writer

people may hear your words but they fill your attitute

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menyelisik Asap Kebakaran Lahan

7 November 2019   09:49 Diperbarui: 7 November 2019   09:54 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa bulan yang lalu bencana asap akibat kebakaran lahan dan hutan kembali dirasakan oleh Masyarakat Kalimantan Barat. Setiap musim kemarau, ancaman asap karena kebakaran lahan sulit dihindari dan dampaknya bagi kesehatan terutama anak-anak sangat memprihatinkan. Mayoritas lahan yang terbakar adalah lahan perkebunan kelapa sawit yang di miliki korporasi dalam Negeri maupun Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Tidak hanya di Kalimantan Barat, kebakaran lahan juga terjadi di beberapa Daerah lain, kerusakan ekosistem hutan dan lingkungan hidup akibat kebakaran menjadi sorotan public Indonesia dan dunia Internasional.

Pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerjasama dengan Pemda Kalimantan Barat, Aparat Kepolisian bertindak cepat menindak Korporasi maupun perorangan yang terindikasi melakukan pembakaran lahan. Hasilnya 26 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang konsesinya terbakar di segel oleh KLHK dan 103 perusahaan diberikan peringatan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.

Kita patut mengapresiasi langkah cepat Pemerintah dalam penanggulangan kebakaran dan penindakan terhadap pelaku pembakaran lahan. Akan tetapi, ada "Pekerjaan Rumah" berat yang menanti aparat penegak hukum yaitu membuktikan akar masalah terjadinya kebakaran lahan khususnya di areal konsesi Perusahaan, apakah dibakar dengan sengaja, terbakar tidak disengaja atau ada penyebab lainnya ?.

Di dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan secara jelas menyebutkan setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup dan di dalam Pasal 69 UU No. 32 Tahun 2009 juga menjelaskan bahwa perusahaan dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan perusakan lingkungan dan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.

Sanksi bagi pelaku yang melangggar ketentuan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban hukum tidak hanya secara administratif, melainkan juga perdata, bahkan pidana. Sanksi administratif tersebut dapat berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah; pembekuan izin lingkungan; atau bahkan pencabutan izin lingkungan. Berdasarkan Pasal 40 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, apabila izin lingkungan dicabut maka izin usaha dan/atau kegiatan harus dibatalkan.

Bagi pelaku bisnis di sektor perkebunan kelapa sawit sanksi pencabutan izin lingkungan ataupun izin usaha sangat ditakuti karena hal itu sama artinya mematikan seluruh investasi yang telah dikeluarkan sejak awal pembangunan kebun, yang tentunya memerlukan dana tidak sedikit. Nama baik korporasi juga menjadi taruhan untuk keberlanjutan bisnis dimasa yang akan datang. Ada hal menarik yang Penulis amati dari pemberitaan media cetak maupun televisi, jika diperhatikan lahan perkebunan kelapa sawit yang terbakar mayoritas terjadi pada lahan yang sudah ditanami bahkan di lahan yang sudah menghasilkan buah kelapa sawit.

Secara logika tidak mungkin Perusahaan membakar "hartanya" sendiri yang secara jelas telah menghasilkan dan menjadi ladang uang meraih keuntungan. Perlu diketahui, kawasan yang termasuk dalam Ijin Usaha Perkebunan tidak seluruhnya dapat dikuasai oleh Perusahaan untuk kepentingan pembangunan kelapa sawit. Ada areal-areal yang memang tidak diserahkan oleh masyarakat karena digunakan untuk bercocok tanam padi atau jenis lainnya dan letaknya tersebar namun bersebelahan dengan kebun-kebun Perusahaan.

Harus diakui, dengan masuknya perkebunan kelapa sawit telah merubah tradisi masyarakat bercocok tanam menjadi masyarakat petani plasma kelapa sawit. Bagi masyarakat yang masih mempertahankan tradisi bercocok tanam padi dan lainnya, setiap musim tanam tiba hal ini menjadi dilema, membuka lahan dengan cara dibakar adalah pilihan utama bahkan dianggap sebagai tradisi turun temurun, selain cepat juga biayanya murah.

Bedanya, dulu membakar lahan dilakukan ditengah hutan bawas bersama pemilik lahan lain dengan tujuan yang sama, sekarang dilakukan ditengah kebun kelapa sawit dengan resiko besar api menjalar hingga ke kebun milik Perusahaan. Hal lain yang perlu dipahami, diareal perkebunan Perusahaan terdapat perkampungan masyarakat dimana akses keluar masuk dari satu tempat ke tempat lainnya akan melintasi atau melewati lahan perkebunan, tidak jarang aktifitas lain seperti berburu binatang liar untuk kebutuhan hidup juga dilakukan di dalam areal kebun sawit.

Sangat sulit bagi Perusahaan membuat lahan perkebunannya menjadi areal private, di sisi lain ada resiko besar menanti jika aktifitas tersebut tidak dikontrol maksimal terutama pada musim kemarau dimana tanaman yang kering akan sangat mudah terbakar hanya dari sisa puntung rokok atau bara api sisa memasak saat berburu.

Kondisi inilah yang seharusnya menjadi perhatian bersama Perusahaan, Pemerintah dan Masyarakat. Kemajuan zaman tidak bisa dihindari akan tetapi perlu diimbangi ditengah perubahan tatanan kehidupan masyarakat yang bergeser dari petani padi dan lainnya menjadi petani plasma. Tujuan akhir yang diharapkan adalah mencegah bukan mengobati apalagi sampai "mengkambing-hitamkan" pihak tertentu dalam persoalan kebakaran lahan ini. Ketiga unsur pengambil keputusan yaitu Pemerintah, Perusahaan dan Masyarakat harus bersinergi pada tujuan yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun