Ia cukup cantik. Mungkin karena mata birunya sangat memikat. Walau begitu aneh sekali ada orang Indonesia bermata biru. Atau ia orang luar?
"Aku asli Indonesia. Lahir di sini, Bali. Tapi ayahku orang Irlandia. Aku mewarisi mata dan rambutku darinya," tutur Ke seolah dia bisa membaca pikiranku. "Aku melihatmu mengamati mataku, kupikir kau pasti penasaran. Semua orang begitu."
Gadis bertampang bule, berlogat Bali. Sungguh ajaib malamku ini. Mungkin aku perlu menuliskannya dalam Kisah 1001 Malam.
"Anjingmu, apakah keturunan Irlandia juga?" Aku berusaha keras mengeluarkan sesuatu yang lucu, tapi hasilnya hanyalah ocehan garing.
Tapi Ke tertawa. "Ya," jawabnya lugas. Ia sukses membuatku melongo.
"Hadiah dari sepupuku di sana."
Hening sejenak, aku masih mencerna informasi baru itu.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau datang kemari tengah malam sambil membawa anjing?" Lanjutku canggung, takut dikira lancang mengorek kehidupan Ke.
"Kangen kedai milik mamaku ini. Dulu aku suka ke sini tengah malam. Rasanya ada sensasi tersendiri menyeruput kopi malam-malam sambil memandangi jalanan sepi. Dan soal anjing ini ... Ceritanya agak panjang."
"Well, aku punya banyak waktu untuk mendengarnya."
Ke tertawa lagi. "Baiklah. Aku hendak menitipkannya di rumah ibu tadi, tapi dia tak suka ditinggal sendirian. Ia memaksa ikut. Bronie kecil yang rewel," katanya sambil mengusap-usap kepala anjing yang duduk manis di dekat kakinya. Walau begitu mata hewan itu tak pernah lelah mengawasiku. Seolah aku bisa saja menyakiti tuannya dan ia siap menyerang.