"Boleh, kalau dia mau," ia tersenyum. Dan bagian terbaik adalah mata birunya ikut tersenyum.
Ada sesuatu dalam suaranya yang menarik perhatianku. Suaranya renyah, riang, seolah ia mudah tertawa. Logat balinya kental.
Aku mengulurkan tangan, meraba kepala anjingnya. Detik berikutnya hewan berbulu lebat itu secepat kilat hendak menyambar tanganku dengan gigi tajamnya. Untung aku menarik tangan tak kalah cepat. Berlatih sulap kartu ada gunanya juga.
"Bronie! Yang sopan!" Tegur gadis bermata biru itu. Kemudian ia menoleh padaku dan tertawa, "Sudah kuduga."
"Dan kau tidak memperingatkanku," protesku cepat.
"Untuk apa? Aku suka menguji kecepatan tangan orang asing."
Gawat, sepertinya gadis ini sudah gila. Aku segera menyusun kata-kata penutup sebelum angkat kaki dari kedai itu. Namun ia melanjutkan, "Aku tahu pasti Bronie tak akan benar-benar menggigit. Setidaknya untuk kali pertama. Ia hanya mengancam."
Gadis itu menyibakkan rambut merah tuanya yang jatuh menutupi mata. "Namaku Ke. Kamu?"
"Ke? Singkat sekali. Aku Ari."
"Ari? Seperti Ari Lasso?" Ke tertawa lagi hingga pipinya merona merah jambu. "Nama asliku Kenna. Tapi ayahku memanggilku Ke. Kata ibuku waktu bayi rambutku merah menyala sehingga ia memberiku nama Kenna, artinya lahir dari api."
Sekarang rambut Ke telah berubah merah tua seperti pohon mahogani. Matanya biru jernih, sebiru laut Aegea diantara Yunani dan Turki. Dulu kupikir warna merah dan biru tidak cocok. Sekarang aku berubah pikiran.