Mohon tunggu...
Muhamad Adib
Muhamad Adib Mohon Tunggu... Buruh - Wong Alas

Jadikan masyarakat desa hutan,nafas Pembangunan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wong Alas Lampaui Batas

20 Oktober 2019   15:55 Diperbarui: 20 Oktober 2019   15:59 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wong alas, adalah sebutan untuk orang (Wong) yang tinggal di pinggir alas (hutan) atau tinggal di desa hutan. Di pulau Jawa ada lebih dari 28  juta orang yang bertempat tinggal di desa pinggir hutan yang tersebar  di 6128 desa hutan  di Jawa dari total 25.826 desa hutan di seluruh Nusantara. Di perkirakan jumlah orang desa hutan (wong alas) di seluruh Indonesia saat ini lebih dari 70 juta jiwa.  

Kata wong alas (dulu) lebih identic dengan orang-orang yang bekerja di hutan seperti pesanggem (petani hutan), penyadap getah, dan blandong (tukang tebang dan angkut kayu hutan), sehingga wong alas digambarkan dengan orang-orang yang tidak berpendidikan ( bodoh), orang-orang yang miskin dan tertinggal zaman. Gambaran itu memang tidak salah bahkan boleh di bilang benar adanya. Tidak hanya dulu tetapi juga masih sampai sekarang.

Rata-rata wong alas yang berprofesi sebagai pesanggem, penyadap dan blandong adalah mereka yang pendidikan formalnya hanya tamat Sekolah Dasar. Bahkan banyak yang tidak tamat Sekolah Dasar dan sebagian diantaranya tidak bisa menulis dan membaca huruf latin. Pada umumnya kehidupan mereka secara ekonomi kurang beruntung alias miskin. Mereka biasanya tergabung dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) bagi para pesanggem dan Kelompok Tani Sadap (KTS) untuk para penyadap getah pinus dan Damar.

Kata wong alas mulai naik kelas ketika pada tahun 2001 Pemerintah melalui Perum Perhutani sebagai pengelola hutan Jawa memperkenalkan system baru pengelolaan hutan yang di beri nama Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)  yaitu suatu system pengelolaan sumberdaya hutan yang di lakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dan atau oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat di wujudkan secara optimal dan proporsional. PHBM dengan pendekatan hutan pangkuan desa (HPD) di mana seluruh kawasan hutan Negara terbagi habis dalam wilayah administrasi desa dan mengajak seluruh masyarakat desa untuk bersama-sama merencanakan dan mengelola hutan pangkuan desanya melalui wadah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).

Keberadaan LMDH yang menjadi rumah besar tidak hanya bagi pesanggem yang tergabung di  Kelompok Tani Hutan, dan penyadap di Kelompok Tani Sadap  tetapi juga terbuka seluruh warga masyarakat yang tinggal di desa hutan membuat makna wong alas menjadi semakin luas. Orang yang bertempat tinggal di desa hutan meskipun bukan petani hutan,penyadap dan blandong bisa menjadi anggota LMDH dan secara otomatis berhak menyandang gelar "wong alas"

Wong alas kini sudah  mulai melampaui batas dan dengan percaya diri di sematkan oleh banyak pelaku kehutanan (terutama di Pulau Jawa)  untuk mempertegas identitas wong alas sebagai sebuah komunitas yang lahir, tinggal dan atau beraktifitas yang berhubungan dengan hutan dan kehutanan. Apalagi sejak  Bapak Joko Widodo yang alumni fakultas Kehutanan, kemudian beraktifitas di hutan,lalu menjadi pengusaha mebeller yang kemudian menjadi Walikota,Gubernur dan menjabat sebagai Presiden. Artinya wong alas bisa mengklaim bahwa Indonesia saat ini di pimpin oleh wong alas.

Wong  alas sesungguhnya sebuah entitas yang sedang  menegaskan dirinya sebagai orang yang senantiasa menempatkan dirinya menjadi bagian dari upaya nyata pelestarian sumberdaya hutan dan hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa hutan dengan segala problematikanya, dan selalu berikhtiar dalam keterbatasan dan kesederhanaan juga dalam kesunyian untuk mengubah kebodohan menjadi kepahaman, kemiskinan menjadi kecukupan dan ketertinggalan menjadi kemajuan. Bukan pegiat kehutanan yang sok jadi "Pahlawan" memperjuangkan nasib petani hutan dengan membuat  manufer dan gerakan memecah persatuan  yang ujungnya berahir di proposal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun