Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bakso

13 Februari 2023   19:50 Diperbarui: 13 Februari 2023   19:51 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bakso

Cerpen Yudha Adi Putra

                Bakso Bang Japar tak kunjung tiba. Bara panasnya tak turun juga. Makan bakso bisa membuat anak desa turun demamnya. Obat paling mudah kala sakit adalah makan enak. Meski, kalau sudah dimakan. Tidak semua makanan yang waktu sehat itu enak. Bisa menjadi tidak enak. Tentu karena sakit. Sakit buat semua tidak enak, termasuk tidak enakan karena sakit.

                "Itu bakso biasa keliling jam setengah tujuh. Sekarang, sudah mau jam delapan. Masih belum kelihatan juga. Apa penjual bakso sudah kaya ? Tak mau keliling jualan lagi ?" gumam Jarwo mulai kesal. Sudah lama dia menunggu. Pukulan sendok dan mangkok tidak terdengar.

                Sudah beberapa hari, Bara demam. Tak mau makan. Kalau makan malah muntah. Malamnya, bisa muntah dan berak bersamaan. Lama kelamaan, badannya lemas. Tak tahu harus bagaimana, kedua orangtuanya diam. Kecuali, Jarwo kakaknya yang sibuk mencarikan bakso.

                Dari sore hingga menjelang malam, kerokan sudah dilakukan. Jarwo kesal, tak ada makanan di rumah. Itu membuat suasana jadi uring-uringan, bakso mungkin menjadi penutup nikmat. Kala malam tiba, perut kenyang tidur akan nyaman. Segala macam permasalahan, terutama soal utang akan sedikit dilupakan. Dalam keadaan kenyang, semua bisa senang. Itu harapan untuk adiknya juga.

                "Jangan hujan-hujan. Hujan sekarang itu bawa banyak penyakit. Semua air kotor, belum kalau masuk angin semua jadi repot. Cucian tak kering sampai sawah gagal panen karena air hujan terus menerus berdatangan !" kata Jarwo pada Bara, adiknya. Tertunduk lesu dan lemas. Menatap perlahan tirai hujan di depan rumah. Banyak tanaman berjatuhan, basah dirias air hujan. Sebagai anak kecil usia tujuh tahunan, hujan tentu menjadi godaan.

                "Semua hal di rumah ini tidak tertata, semula soal makan. Sekarang bisa saja baju berserakan. Katanya, baju harus rapi. Kalau tidak, kasihan yang menyetrika. Belum selesai bahas baju, ada juga soal sepatu. Pakai sepatu harus hitam. Kalau tidak, nanti disuruh pulang. Repot sekali, tapi banyak orang suka direpotkan. Biar jadi kebiasaan sebenarnya,"

                "Kebiasaan yang baik itu. Nanti bisa jadi karakter," kata Bang Japar kala itu. Bang Japar sudah seperti bagian dari keluarga. Ia berperan menyediakan makan malam. Hanya dengan dua lembar uang sepuluh ribuan. Akan ada bakso dengan berbagai toping yang mengenyangkan. Bisa tambah kecap dan saos sesuka hati. Kalau perlu, pangsit boleh dipotong. Apa saja, asal mangkoknya dikembalikan. Karena Bang Japar tukang bakso keliling dengan sepeda motor butut.

                "Tak akan sepeda motor ini macet. Ini sudah seperti kakiku sendiri. Menambah kecepatan, bisa jadi tambah tenaga juga."

                Jarwo langsung teringat, dia melamun kala menanti bakso Bang Japar. Menatap sekeliling, hanya ada suara jangkrik. Selepas hujan, semua menjadi gemar menyanyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun