Cerpen Yudha Adi Putra
Binarso mengumpulkan lima belas petani tua, memberi mereka rokok, menawari perawatan sawah; lengkap dengan traktor, mesin gilingan, jaminan perairan, dan yang paling menarik, sawah seluruh petani tua itu akan didukung dengan kelompok penjualan padi.
        Ia bukan orang pertama yang membujuk petani daerah itu. Namun, ia satu-satunya yang berani membiayai banyak demi sawah, yang membelikan traktor, membantu rokok, dan penuh keberanian tanpa perhitungan, dengan pernyataan bahwa pertanian akan sukses, "Hanya ada dua kata, lawan dan tanam. Kita berjuang untuk pertanian!"
***
        Petani tidak ingin sawahnya berubah jadi perumahan, tidak pula menjadi miskin dengan air yang semakin keruh karena pembangunan hotel. Keberanian untuk menjadi petani, yang tidak dihitung dengan kenekatan melawan pembangunan, membuat petani semakin tersiksa keadaan, dan beberapa mengorbankan sawahnya. Sawah jadi perumahan, kos, bahkan pabrik kecil penyumbang limbah.
        Binarso berjuang dengan semua petani di desa itu bersama seluruh pemuda yang mau mendukungnya. Dia sempat bingung dan ragu. Binarso memastikan pertanian bisa tetap bertahan di antara sibuknya pembangunan dan upaya pembebasan lahan. Semua dalam goresan penindasan atas nama pembangunan untuk kemajuan.
        "Katakan apa yang kalian butuhkan," pinta Binarso pada nelayan tua yang sudah putus asa karena pembangunan.
        Petani tua mengatakan sesuatu yang tidak bisa dipahami. Mungkin karena rokok masih menempel di mulutnya, bicaranya tidak jelas. Tapi bukan itu, seorang pemuda berlari memberi tahu bahwa aparat sudah semakin dekat melindungi pekerja pembangunan tentang penggusuran sawah.
        "Apa yang harus dilakukan? Kalian ingin apa ?" tanya Binarso pada semua petani yang berkumpul.
        Petani hanya diam menatap cangkul. Tetap tidak bisa dimengerti maksudnya.