Mohon tunggu...
Tebe Tebe
Tebe Tebe Mohon Tunggu... lainnya -

"Hidup itu....Tuhan yang menentukan. Kita yang menjalaninya. Dan orang lain yang mengomentari (kepo)." (tebe)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Pagi Ini Tak Mampu Membasahi Tanah Kami

12 Januari 2014   13:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:54 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Itukan dulu, Pak! Lagi pula  Ibu sudah tahu orang-orang semacam itu  sekarang. Tidak muda dipercaya. Mulut bisa saja berkata. Tapi kalau soal fakta sudah terbuktikan jika ketua politisi partai itu bersalah. Makan uang korupsi sebuah proyek besar di tanah air ini..."

Lelaki itu  makin bingung ketika istrinya makin pandai menjawab. Pandai berdiplomasi seperti para pejabat teras di gedung pemerintahan. Ia sesaat diam. Ia kembali menyaksikan berita televisi itu kembali.

"Oya, Pak, sampeyan ingat lho Ibu ndak bisa pakai gas lagi untuk masak. Lebih baik Ibu masak di dapur saja. Besok jangan lupa Pak buatkan Ibu tungku di belakang rumah. Ibu sudah ndak bisa menggunakan gas untuk memasak. Harganya sudah naik, Pak!"

Kali ini lelaki yang sudah satu atap dengan perempuan yang sudah menemaninya sepuluh tahun lamanya itu makin terkejut bukan kepalang. Ia baru menyadari kalau harga bahan gas itu sudah naik meroket. Sudah mahal harganya. Tapi ia tidak begitu peduli dengan kenaikan bahan gas itu melainkan malah memikirkan ketua politisi partai yang selalu menggunakan kacamata minus itu.

Suasana ruang tamu sesaat senyap. Hanya terdengar suara pembawa berita mengoceh tanpa kira. Tak peduli jika pemilik kotak ajaib itu sedang dilanda kekesalan pada ketua politisi partai yang korupsi dan juga kenaikan bahan bakar gas. Kini merekalah yang harus menanggung dari permainan dan keserakahan para politisi dan pejabat pemerintahan itu. Tak lain suami-istri yang hidup dari penghasilan membuka bengkel motor itu.

“Iya, Bu, besok! Bapak buatkan tungkunya!”

Akhirnya lelaki itu tidak semangat lagi untuk meneruskan berita tentang ketua politisi partai dikerubuti para wartawan di layar kaca, digiring ke kantor penyelidikan korupsi. Ia kini bangkit dari tempat duduknya yang sejak pagi bermanja dengan berita korupsi. Dan tangan kekarnya langsung memencet remote televisi berukuran 21 inch itu.

Klik!

Lelaki itu bangkit lalu meninggalkan kotak ajaib itu. Walau berita tentang ketua politisi partai belum usai diberitakan oleh pembawa berita. Tetapi ia tidak peduli lagi sekarang dengan berita-berita itu. Apalagi peduli dengan janji-janji bahkan sumpah para politisi maupun pejabat pemerintahan. Lagi pula itu bukan urusan lelaki itu maupun istrinya. Walaupun mereka sudah menjadi korban dari permainan dan keserakahan para politisi dan pejabat pemerintahan di negeri ini. Di tanahnya mereka sendiri.

Lelaki itu lalu menuju ke teras rumah. Dengan gontai ia ingin melihat keadaan suasana di luar rumah. Dan ketika ia melihat hujan masih turun sangat deras, membasahi tanah yang sudah beberapa hari ini kering-kerontang dimakan kemarau. Tetap saja berdebu kala usai hujan turun seperti yang lalu-lalu.[]diruangtanpateingadanmata,12012014

-Menulis Sepanjang Hayat-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun