Mohon tunggu...
Peran Sabeth Hendianto
Peran Sabeth Hendianto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

yang sempat hilang,,,

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen: Wajahku di Bawa Orang Jerman

2 Maret 2010   13:34 Diperbarui: 13 Juli 2015   13:55 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini terasa sumpek dan rumpeknya perkuliahan membuatku muak. Ingin rasanya ku loncat dari lantai 7 ruang kuliah saking muaknya. Belum sampai disitu muak ku, si dosen itu lama-kelamaan memuakkan juga dengan segala permainan jamnya. Monoton. Struktural dangkal, tak ada yang menarik dari tingkah-polah pengajarannya. Muak. Sungguh memuakkan. Jemu sudah aku memandang kepala botaknya itu. Mungkin bila ada seorang karikatur yang jail, tak habis pikir ia gambar kepala pelontos itu dengan segala kejailannya, lengkap dengan urat-urat yang menjulur berkilat-kilat di jidat. Tiba-tiba tanpa komando ia loncat dari kursi putarnya, tempat bos eksekutif memainkan jari-jari telunjuk, menghardik setiap babu nya bila ada kesalahan yang tak sengaja dibuat, dan akulah babu nya itu, juga mahasiswa pemalas dengan segala unek-unek murahannya. Dan si bos itu pun membuat jarak antara si babu dengan dirinya: bahwa si bos lah yang paling tahu dan paling mengerti juga paling berkuasa. Mereka mengurbankan hak-hak si babu untuk memberi alasan atas semua kesalahan yang telah dibuatnya, demi meninggikan derajat dan mempertahankan kewibawannya walaupun harus ada yang dikurbankan untuk semua itu. Dan Kami lah kurban-kurban dari Struktural ilmu yang membekukan otak untuk berfikir mencipta, hanya menghafal ejaan yang monoton saja. Cuman itu itu saja dari dulu hingga sekarang, hanya itu yang di pelajari, tak ada inovasi-inovasa baru, tak ada yang lain, hanya itu, cuman itu ! Bukankah pada dasarnya hakikat belajar adalah: memproduksi gagasan, dan bukan mengkonsumsinya? Sistem itu terasa menjerat sekali, mencekik perlahan hingga mati penasaran, mengekang gerak pikiran untuk berfikir hal-hal yang baru dan membuat otak semakin bebal dan malas. Semua yang ada diruangan kaget terjingkat. Karso yang dari tadi tidur pun bangun dengan sekejap mata, bangun dari mimpi jadi orang pintar didalam tidurnya dan berharap sampai kedunia nyata, walaupun hanya kenyataan yang didapatkannya, kenyataan bahwa ia tetap menjadi orang bodoh. "Sodara-sodara mahasiswa yang saya hormati, apakah ada pertanyaan dari topik pelajaran pagi ini?" bibir tebal berkumis klimis itu pun bicara juga, bangkit dari kebisuannya. Dan semuanya pun hanya diam. Giliran mahasiswa yang tak bersuara, etah takut atau sedang bingung, karena dari tadi si dosen cuman menyuruh mereka mempelajari buku ilmu linguis tanpa ada pengarahan darinya. Aku pun kebingungan pula dengan tingkahnya yang semakin meningkah itu ! Akhirnya jam perkuliahan pun selesai, dan si dosen kembali mempertunjukkan kebolehannya untuk mengekang si babu, untuk menaati peraturan yang dibuatnya sendiri: "Sodara-sodara mahasiswa, sebelum kalian pulang ada tugas yang harus kalian selesaikan, yakni tugas merangkum buku yang sudah saya rekomendasikan kepada kalian, dan tugas ini harus selesai sebelum pertemuan selanjutnya seminggu yang akan datang !," tugas yang menarik untuk mahasiswa-mahasiswa yang pintar, dan berita buruk untuk mahasiswa yang bebal. Berbahagialah kalian wahai mahasiswa-mahasiswa bebal, karena kalian bisa berbuat sekehendak hati kalian tanpa ada aturan. Aku pun segera melenggang pergi meninggalkan ruangan yang memuakkan itu, meninggalkan segala keusangan ilmu yang ada. Pergi mencari udara kebebasan, mencari kemerdekaan ilmu jagad tanpa batasan dan aturan yang mengekang. Anganku bersandar pada warung murahan di pinggiran jalan Pahlawan, Semarang Tengah. Bukan warung makan istimewa, hanya murahan pinggiran jalan. Lalat dan debu pun bebas menari di tumpukkan nasi yang ingin kulahap. Matahari semakin panas membakar, menyengat, berkilat-kilat cahaya nya. Tegukkan es teh melegagakan tenggorokkan yang tercekik ilmu-ilmu Struktural yang memang mencekik leher. Mendingin kan pikiranku yang penuh kemuakkan. Muak. Ingin sekali kubuang rasa muak ini. Kubuang wajahku ke seberang jalan dibelakangku, karena warung murahan ini warung terbuka mataku pun bebas lepas melihat dengan leluasanya. Terlihat, tiga orang bule cantik melirik kanan kiri, bertanya-tanya pada setiap orang yang dijumpai nya. Tak ada yang mengerti dengan bahasa yang ia pakai. Mereka hanya geleng-geleng saja, sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah apa yang dipertanyakan. Masih juga kebingungan. Menyeberang lah mereka menuju bagian jalan yang lain, menuju ketempatku, diwarung makan murahan. Kutatap mata mereka yang mengkristal kebiru-biruan itu, di balas juga pandanganku. Bule-bule itu semakin mendekat kewarung, sesekali melayangkan pandangannya kemakanan yang tertata rapi dimeja. Tetapi tak menggoda seleranya, hanya makanan murahan dan sedikit menjijikan baginya. "Excuse me Sir..!? Maaf Tuan, apakah Tuan tahu arah jalan menuju hotel Horison?," "Apa? Nona bertanya kepada saya?" tanyaku  balik kepada bule yang sedikit jangkung dan berdada cukup besar. "Iya Tuan, apakah Tuan tahu?" jawabnya dengan nada sopan, walaupun tak sesopan bajunya yang seronoh itu. Tengtop warna biru laut dan cukup lebar dibagian belah dadanya yang bengkak. Seraya ingin keluar menghirup udara segar saking sumuknya. Aku diam sebentar. Dan kulihat, bule yang satunya lagi mengeluarkan kamera poket dari sakunya. Entah apa yang ingin ia foto dengan kameranya itu. Tak ada yang menarik disini. "Hotel Horison?" tanyaku sedikit menyakinkan pertanyaannya. "Iya Tuan,,!" "Kalian lurus saja mengikuti jalan ini, dan di ujung jalan ini ada sebuah simpang lima, dan disana pula hotel itu berada.," jawabku sambil menunjuk arah jalan menuju Simpang Lima. Tanpa kusadari, bule yang membawa kamera poket melenggang menuju arahku. Ia berdiri tepat disampingku. "Tuan, bisakah Tuan keluar sebentar?" Aku pun segera berdiri dan keluar dari warung makan murahan itu. "Tuan, bolehkah saya mengambil gambar tuan ? Ini untuk kenang-kenangan Tuan, sebelum kami melanjutkan lagi perjalanan kami? " "Boleh..!" jawabku, karena siapa yang mau menolak ajakkan seaorang bule cantik. Ia kan cuma ingin mengambil gambar wajahku saja. Pikirku dalam hati. Serentak mereka semua langsung berdiri berjejer disamping kanan dan kiriku. Bagai seorang artis ngetop yang diburu para penggemarnya, aku pun berpose layaknya seorang bintang film. Sedikit grogi dan berkeringat. Dada-dada itu seperti punya pikirannya sendiri, bergelayutan di lengan-lenganku yang kekar. Tak lama, hanya 2 menit mereka mengambil gambarku. "Terimakasih Tuan, atas semuanya? Dan foto ini akan kami bawa pulang kenegeri kami, diJerman, saat pulang nanti dari negeri Tuan. Kami akan melukis wajah ini di Tembok Berlin, sebagia simbol kebebasan berekspresi dalam birfikir dan berkarya," Setelah mereka selesai dengan urusanya, mereka pun segera melenggang pergi menuju arah Hotel Horison. Tak menyangka, mereka membawa gambar wajahku dan berkeinginan melukisnya di Tembok Berlin, sebagai  simbol kebebasan berekspresi. Dan kemuakkanku pun hilang bersama wajah dalam bingkai foto itu. Melayang kenegeri antah-brantah. Hilang bersama jiwa usangku. Jiwa usang yang sekian lama menyekikku, membebalkan pikiranku, mebuatku berpikir kebelakang dan bukan berpikir kedepan. "Terimakasih Nona-Nona...!!??" ~sekian~ sunber foto= http://www.flickr.com/photos/75367799@N00/2103401038

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun