Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jika Tak Bisa Jadi Orang Pandai, Jadilah Orang Berani!

13 April 2012   10:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:39 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1334312679705942914

[caption id="attachment_181706" align="alignright" width="720" caption="Imam Rahmanto bercerita tentang pengalamannya/Kompasiana"][/caption] Kalimat ini saya dapatkan dari peserta pelatihan menulis di Makassar, Imam Rahmanto, beberapa waktu lalu. Imam adalah satu dari dua sukarelawan yang saya minta maju ke depan, mengatasi 200 peserta lainnya, untuk menceritakan pengalaman yang paling menariknya secara lisan. Sebagaimana saya mengajar menulis atau memberi pelatihan, saya lebih suka mempraktikkannya langsung, tidak melulu dari buku-buku teori menulis yang pasti sangat kering dan biasanya, maaf, suka menggurui itu. Saat itu saya memberi pemahaman kepada peserta, bahwa menulis yang paling mudah adalah menulis sebagaimana kita berbicara atau bertutur, bukan menulis sebagaimana orang lain menulis. Sebagai sukarelawan, Imam menuturkan pengalaman berkesannya di depan 200 peserta lainnya. Hasilnya? Cukup menakjubkan. Pada mulanya Imam seperti kesulitan bercerita, tetapi lama-lama ia larut dalam cerita mengenai pengalamannya untuk pertama kali berkunjung ke Bandara Sultan Hasanuddin. Demikian hanyut, demikian "flow". Ia tanpa harus menjaga gengsi kalau baru pertama kali menginjakkan kaki di bandara melihat dari dekat pesawat terbang! Bahkan, secara cermat ia bercerita mengenai patung besar Sultan Hasanuddin di depan gerbang bandara yang "hanya" mengenakan semacam sanjal jepit. "Wah, masak pahlawan sehebat Sultan Hasanuddin hanya pakai sandal, kenapa tidak pakai sepatu boot begitu," tuturnya disambut gelak-tawa hadirin. Setelah Imam selesai bercerita dengan lancar dan mengalir, barulah "teori menulis" yang saya miliki saya sampaikan langsung dengan sebuah pertanyaan bernada imperatif, "Kira-kira, apakah Mas Imam dapat menuliskan kembali apa-apa yang diceritakan barusan?" Lalu dengan cepat Imam menjawab, "Bisa!" Begitulah pesan saya sampaikan, bahwa "menulis yang paling mudah adalah menulis sebagaimana kita berbicara dan bertutur kata". Anggapan ini bisa saja keliru atau melenceng dari teori baku menulis. Ya tidak apa-apa toh? Yang penting, ketika jari-jemari sudah berada di atas mesin tik dan seorang penulis larut dalam suasana "flow", biasanya tidak terbendung lagi. Cara ini lebih baik daripada pikiran macet sebelum menulis satu patah katapun! Kembali ke Imam tadi, ternyata ia juga bisa menulis laporan dari kegiatan latihan penulisan yang diselenggarakan Kompasiana bersama Negeri 5 Menara itu dengan baik. Saya apresiasi kutipan pernyataan-pernyataan saya yang pas, tanpa penambahan atau pengurangan, apalagi plintiran. Dalam satu paragraf laporannya itu Imam menulis; sesi Kedua sang pendiri Kompasiana, Pepih Nugraha menunjukkan kepiawaiannya sebagai seorang jurnalis. Materi Teknik Menulis Narasi dibawakan dengan begitu gambalangnya. Paling dasar, ia mengungkapkan, salah satu cara mengatasi kesulitan menulis adalah dengan mentransformasikan percakapan sehari-hari ke dalam sebuah tulisan. Karena suara hati itu mesti dituangkan ke dalam tulisan. “Tidak usah menulis dengan gaya orang lain,” tambahnya lagi. Saya merasa, kemampuan Imam jika terus diasah akan berbuah keterampilan menulis, baik sebagai novelis maupun jurnalis. Mengapa? Karena ia kuat dalam deskripsi dan baik dalam narasi yang disampaikannya. Dan yang lebih penting, Imam juga berani, setidak-tidaknya berani tampil di depan peserta! ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun