Namanya Ninuk Mardiana Pambudy.
Saya biasa memanggilnya Mbak Ninuk. Terakhir bertemu puteri almarhum mantan Mensesneg Moerdiono ini Desember 2016, saat saya menandatangani pengunduran (pensiun dini) selaku wartawan Harian Kompas. Saat itu jabatannya masih Wakil Pemimpin Redaksi yang diberi tugas ekstra menangani kekaryawanan alias SDM. Mbak Ninuk memberi saran mengenai "plafon" mana yang harus saya ambil terkait uang pensiun saya setelah 26 tahun bekerja.
"Kamu ambil yang ini saja, biarpun uang pensiun bulananmu kecil, tapi (uang) yang ini bisa kamu simpan, bisa kamu beli Reksadana atau kamu depositokan," sarannya sebelum saya menimang-nimang "plafon" mana yang akan saya ambil. Secepat kilat, saya memutuskan dan menerima saran Mbak Ninuk!
Kini nama Mbak Ninuk sedang menjadi perbincangan hangat. Namanya kerap disebut-sebut dalam percakapan WA, medsos dan obrolan ala warkop. Jujur, bukan dalam perspektif positif, tetapi lebih menjurus sentimen negatif karena berada di pusaran yang sungguh tidak mengenakkannya selaku jurnalis; yaitu politik.
Jurnalistik dan politik!
Sejatinya dua "binatang" ini bisa saling mengisi dan tidak harus menjadi persoalan besar. Politik bisa menjadi urusan jurnalistik, pun jurnalistik tidak bisa lepas dari politik. Tetapi, mengapa Mbak Ninuk yang menjadi Pemimpin Redaksi Harian Kompas menjadi terseret sedemikian jauh untuk urusan politik praktis, seolah-olah ia terjerembab sendiri pada palagan di mana dua pendekar tengah bertempur sengit?
Mbak Ninuk adalah nakhoda sebuah kapal besar bernama Harian Kompas yang secara lembaga kadung sudah distigmakan sangat dekat dengan Joko Widodo, calon presiden petahana yang kini tengah bertarung melawan Prabowo Subianto. Karenanya saya kira -ini realitas politik- para pendukung fanatik Prabowo banyak yang menjauhi Kompas, anti-Kompas dan ramai-ramai berhenti berlangganan.
Sebaliknya, Kompas sangat populer di kalangan pendukung Jokowi dan karenanya menjadi semacam sandaran.
Gonjang-ganjing itu pun meledak saat Harian Kompas memuat hasil survei Litbang Kompas pada Rabu, 20 Maret 2019, yang mengabarkan jarak antara (gap) Jokowi dan Prabowo sudah semakin menipis. Survei masih menempatkan elektabilitas Jokowi di atas Prabowo, tetapi angkanya yang bikin psikologi massa terganggu, yaitu 49,2 melawan 37,4 dengan yang belum menentukan pilihan sebesar 13,4.
Bagi Prabowo, tim dan para pendukung fanatiknya, hasil survei Litbang Kompas itu ibarat angin segar yang menyejukkan kalbu. Berkali-kali Prabowo sendiri menyatakan tidak percaya atas hasil survei manapun karena lebih memilih tim survei sendiri. Namun terhadap hasil survei Litbang Kompas ini tanggapan positif datang dari para pendukungnya. Mereka dengan serta merta memercayai lagi survei dan untuk sementara Kompas pun dijadikan idola, dipuja-puji, dan dianggap sudah "memerankan" sikapnya yang netral dan nonpartisan.