Jadi saat saya berbicara mengenai tema "Melawan Hoax dengan Menulis/Membuat Konten Bermanfaat di Medsos", saya menghantam kesadaran publik dengan CERITA KATOLIK.
Kamu tahu apa kalimat pertama yang saya lontarkan?
Begini; "Jangan-jangan JESUS yang dalam keyakinan saya disebut Nabi Isa itu KORBAN HOAX."
Dan, kamu mau tahu reaksi khalayak di depan saya? Diam seribu bahasa!
Dari sana saya memandang wajah-wajah rasa ingin tahu dan ingin segera saya melanjutkan cerita mengenai kemungkinan Jesus korban hoax. Tentu saja saya sampaikan "sosok kontroversi" (setidak-tidaknya masih dianggap kontroversial apakah dia pengkhianat atau bukan) bernama Yudas Iskariot. Akibat "ulah" sosok inilah Jesus disalib di Bukit Golgota.
Tetapi, jangan benturkan keyakinan dalam agama yang saya anut bahwa sosok inilah yang sebenarnya menggantikan Nabi Isa saat mengalami penyaliban, sehingga sampai kini dalam keyakinan Islam sosok yang disalib itu adalah Yudas, bukan Isa. Biarkan ini urusan keimanan masing-masing saja!
Kembali ke khalayak di depan saya yang sudah saya perkirakan semuanya beragama Katolik, saya melihat reaksi yang berbeda; ada yang mengangguk-angguk, ada yang melempar senyum kecut, ada juga yang masih melongo.
Saya ga peduli, yang penting; inilah cara saya membuka kesadaran publik agar di awal penyampaian materi bisa memusatkan pikiran kepada diri saya. Toh apa yang saya sampaikan relevan dengan pancingan yang saya umpankan, yaitu tentang hoax.
Nah, kunci pentingnya bagaimana saya menempatkan diri saya sendiri sebagai publik yang ada di depan saya. Saya seolah-olah berada di antara kerumunan itu. Selain memainkan emosi, saya memainkan empati sekaligus.
Saya bisa saja berbusa-busa mengungkap kehebatan saya (kalau iya hebat) sebagai penulis atau pembicara, sebagai jurnalis Harian Kompas yang berpengalaman 26 tahun kerja, atau sebagai penulis yang sudah memulai karier sejak sekolah dasar di tahun 1977, pendiri blog keroyokan terbesar se Asia bernama Kompasiana blablabla... Itu tidak saya lakukan, sebab bagi mereka semua itu TIDAK PENTING!
Terlalu banyak bercerita tentang kehebatan diri si pembicara hanya akan terjebak "onani qua intelektual" saja. Lebih baik "merendahkan" diri setara dengan publik di depan saya, publik yang ingin tahu cerita saya karena kerangka berpikir sudah saya bentuk sejak awal, kemudian NARASI saya tembakkan dengan sendirinya.