Mohon tunggu...
Dodi Mawardi
Dodi Mawardi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Penulis kreatif sudah menghasilkan puluhan buku, antara lain Belajar Goblok dari Bob Sadino dan Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani. Selain aktif menulis, juga sebagai dosen, pendidik, dan pembicara bidang penulisan, serta komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kualitas Kolom Opini Kompas, Turun?!

3 Februari 2012   02:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:07 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

“Kok susah ya mau kirim artikel ke media massa?” tanya seorang peserta workshop menulis Metode 12 PAS yang saya kelola.

“Ah tidak juga kalau kita tahu caranya?” jawab saya cepat.

“Sudah berkali-kali ngirim ditolak melulu?” sergahnya dengan nada tinggi.

“Emangnya kirim artikel ke media mana saja?” saya mulai curiga.

“Ke Kompas, mas,” jawabnya kalem.

Saya hanya tersenyum penuh makna kegetiran.“Panteees,” ucap saya dalam hati.

“Siapa elu?” kira-kira begitu lah respon dari redaktur kolom opini Kompas, setiap kali menyeleksi naskah yang masuk. Selain tentunya, isi tulisannya yang harus lolos saringan mereka. Siapa Anda amat berpengaruh terhadap penilaian artikel yang masuk ke media massa. Bukan berarti harus nama populer, melainkan sesuai dengan materi yang disampaikan. Dan banyak lagi kriteria lainnya yang membuat kolom opini Kompas menjadi salah satu kolom koran paling sulit ditaklukkan, apalagi oleh penulis pemula. (Tulisan saya juga belum pernah dimuat. Baru sekali mencoba mengirim dan setelah ditolak tidak pernah mencoba lagi…)

Nah, tapi hari ini Jumat 2 Februari 2012, saya terperangah! Sebuah tulisan opini dari seseorang bernama Sri Palupi (disebutkan sebagai Ketua Institute for Ecosoc Rights) sungguh bertolak belakang dengan citra kolom opini Kompas yang penuh kualitas. Judulnya sih amat menarik, “Pilot yang Salah Pesawat” mengkritik pemerintahan SBY mulai dari presidennya sampai para pembantunya. Penulis ini tidak sepakat dengan sergahan para pembantu SBY atas istilah ‘Negara Auto Pilot’. Menurut penulis, mungkin benar negara ini tidak auto pilot dan pilotnya handal. Tapi pesawatnya keliru. Bukan pesawat ‘rakyat Indonesia’ melainkan ‘para investor asing’. Sebuah kritikan yang amat menarik.

Sayang sekali kupasannya terlalu menggeneralisir masalah, simplisistik (mungkin karena keterbatasan ruang) dan membabi buta. Banyak data dan fakta yang tidak akurat, sehingga menurunkan kualitas kritikan dan tulisan ini ke titik amat rendah. Seorang pendukung pemerintah SBY menilai kritikan semacam ini ke dalam kelompok para tokoh yang kebelet menjadi penguasa. Karena penulis kritik ini bukan tokoh yang kebelet itu, mungkin bisa dikategorikan sebagai pendukung tokoh-tokoh yang kebelet itu. Kritikan semacam ini menjadi bumerang. Ibarat punya busur panah, tapi anak panahnya tumpul bahkan mungkin terbuat dari kayu yang rapuh. Mudah sekali dipatahkan! Sayang sekali…

Ini dia sejumlah data dan fakta yang tidak akurat itu. Kita mulai dari data yang keliru atau tidak akurat.


  1. Sejumlah perusahaan asing disebut penulis kritik ini sebagai penguasa/menguasai pasar. Bahkan dengan istilah mencengkeram, menguasai atau mengontrol pasar. Faktanya tidak semua yang disebutkan penulis adalah penguasa, pencengkeram atau pengontrol pasar. Misal di industri pangan/minuman. Benar Nestle atau Unilever menguasai pasar (sejak zaman Soeharto juga sudah menguasai pasar). Tapi apa benar Pepsi Co juga demikian? Juga disebutkan penulis kritik ini, Wal Mart dan Tesco sebagai penguasa ritel. Kalau Carefour benar, menguasai pasar cukup signifikan, meski sebagian sahamnya kini dikuasai Chairul Tandjung. Perusahaan minimarket pun yang seolah dianalogikan sebagai perusahaan asing oleh penulis kritik, faktanya tidak demikian. Mereka terutama Indomaret, milik pengusaha lokal.

Data yang saya peroleh adalah seperti ini:

-Tak ada satu data pun yang menyebutkan produk Pepsi sebagai penguasa pasar di Indonesia. Mereka kalah bersaing oleh pesaing utamanya yaitu Coca Cola (produk asing juga) di Indonesia. Perusahaan Indonesia seperti Teh Botol Sosro masih lebih perkasa dibanding Pepsi di Indonesia. Kalau di sejumlah negara kawasan Amerika Latin, Pepsi jadi salah satu penguasa pasar.

-Walmart, tahun 1996 pernah masuk Indonesia dan gagal. Sekarang mereka baru akan masuk lagi ke Indonesia. Penguasapasar? Tesco, sampai tulisan ini saya buat, baru ada satu di Ratu Plasa. Apakah dengan satu cabang bisa disebut penguasa pasar?

2. Data lama ditumpukkan pada masa ini. Misal penguasaan asing di perusahaan Indonesia. Proses yang terjadi sekarang ditumpuk dengan proses yang sudah terjadi sejak lama, sehingga menumpukkan kesalahan pada pemerintahan sekarang. (Kritikan semacam ini mudah dipatahkan kelompok pro SBY). Misal penguasaan asing di perusahaan BUMN dan lokal. Hal ini sudah terjadi (dan besar-besaran) pada masa pemerintahan Megawati (Boediono termasuk anggota kabinet ekonominya), mulai dari Telkom, Indosat, Kimia Farma, Indofarma, sampai bank-bank nasional. Total mencapai lebih dari 20 perusahaan. Privatisasi memang terus berlangsung, tapi tidak sedasyat eranya Megawati.

3. Fakta sumir, kurang data pendukung: “Pabrik-pabrik ditutup.” Sebuah kalimat di ujung sebuah paragraf yang tanpa data pendukung. Amat sumir dan lemah. Seharusnya penulis menampilkan data pendukung sehingga kalimat “Pabrik-pabrik ditutup” menjadi kredibel. Tidak asbun (asal bunyi). Kalimat itu bisa bermakna banyak dan bersifat provokasi serta generalisasi serampangan. Jika benar, pabrik-pabrik ditutup (banyak pabrik?), maka gejolak ekonomi akan terjadi. Faktanya? Dan inilah data dan fakta yang saya dapatkan: 180.000 perusahaan Indonesia bangkrut akibat globalisasi dan serbuan produk China. Berita ini dikutip berbagai media massa pada November 2011. Wah, tulisan bu Sri akan lebih kuat jika data ini dicantumkan lengkap dengan ulasan alasannya. Apalagi penulis kritik ini adalah ketua lembaga yang giat melakukan riset.

4.Generalisasi serampangan. Contoh, “Pembunuhan, perampokan, penculikan, pelecehan dan perkosaan di tempat umum kian marak.” Wow, Indonesia menyeramkan sekali, jika membaca kalimat ini. Generalisasi? Ya, amat jelas. Terutama generalisasi Jabodetabek sebagai Indonesia, karena sebagai besar data kekerasan yang mungkin dijadikan acuan penulis kritik ini adalah yang terjadi di Jabodetabek. Mungkin kebanyakan baca media kuning atau menonton program kriminal. Kalau baca Kompas, berita semacam itu tidak lebih dari dua halaman setiap hari. Faktanya: berita Kompas 20 Januari 2011, “Angka kejahatan atau tindak pidana seluruh Indonesia turun sebesar 20,28 persen, dari 344.942 kasus menjadi 274.999 kasus. Perjudian turun 36,57 persen. Premanisme, kejahatan jalanan (copet, penodongan), dan pencurian dengan kekerasan turun 24,65 persen. Pencurian biasa turun 25, 89 persen.Di wilayah Polda Metro Jaya, kasus pemerkosaan turun 107 persen, pemerasan/pengancaman turun 53,6 persen, penganiayaan berat turun 19,95 persen, dan pencurian dengan pemberatan turun 19,69 persen. Adapun pencurian dengan kekerasan turun 12,4 persen.”

Bagaimana pun kritik itu wajib kita sampaikan setiap kali melihat ketidaksesuaian. Tapi jangan sampai serampangan dan membabi buta dengan mengabaikan data dan fakta yang akurat. Kritik yang baik adalah yang sulit dibantah oleh penerima kritik. Kalau pun dibantah, giliran para pembantahnya yang membabi buta dan serampangan. Mungkin ini terpengaruh oleh emosi penulis yang sudah habis kesabaran menghadapi berbagai kelambanan dan kekurangsigapan pemerintah dalam menangani berbagai masalah.

Kolom ‘Opini Kompas’ pun selaiknya lebih ketat menyaring kualitas tulisan. Saya tidak yakin, media sebesar Kompas mengalami ‘habis kesabaran’ menghadapi pemerintahan SBY, sehingga kolom opini menurun kualitasnya. Apalagi kalau isi kritikannya membabi buta dan serampangan. Nanti malah jadi bumerang…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun