Mohon tunggu...
Ihsan Iskandar S.Sos M.E C.DMP
Ihsan Iskandar S.Sos M.E C.DMP Mohon Tunggu... Seorang Dosen, Peneliti, Mentor 70+ UMKM, Entreprenuer, & Juara Nasional Wirausaha Berbasis Masjid. Kontak: 0895-1997-7808

Seorang Dosen, Mentor 70+ UMKM, Entreprenuer, Juara Nasional Wirausaha Berbasis Masjid. " Memiliki pengalaman 7 Tahun menjadi Sales dan Manajer Marketing, Event Organizer, dan Pengalaman Organisasi Pers pemberitaan. Memiliki Kemampuan Public Speaking, Pembuatan Website, IT Skill Based dan Desain Grafis. Dosen di Kampus STIM Sukma dan Ketua UMUM RTIK Medan. Kontak: 0895-1997-7808

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ilusi Upah di Raja Ampat: Mengapa Gaji Tinggi Industri Tambang Tak Menjamin Kesejahteraan?

25 Juni 2025   05:19 Diperbarui: 24 Juni 2025   16:34 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dibuat menggunakan AI

Oleh: Ihsan Iskandar S.Sos M.E

Di tengah perdebatan sengit antara konservasi dan ekstraksi di Raja Ampat, salah satu argumen paling kuat yang diusung oleh para pendukung industri pertambangan adalah janji kemakmuran melalui penciptaan lapangan kerja dengan upah tinggi. Bagi sebuah wilayah dengan kesempatan kerja formal yang terbatas, tawaran gaji yang jauh melampaui pendapatan dari sektor tradisional seperti perikanan atau pertanian menjadi daya tarik yang sangat kuat. Secara nominal, angka-angka yang disajikan memang terlihat menggiurkan. Gaji untuk seorang operator tambang di Papua bisa berkisar antara Rp 4 juta hingga Rp 11 juta, jauh di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) Papua Barat Daya yang pada tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp 3.614.000. PT Gag Nikel sendiri melaporkan telah menyerap 1.354 tenaga kerja, sebuah kontribusi kuantitatif yang tidak bisa diabaikan.

Namun, di balik janji-janji nominal ini, tersembunyi sebuah "ilusi upah"---sebuah fenomena di mana daya beli riil para pekerja terkikis habis oleh biaya hidup lokal yang meroket, yang ironisnya dipicu oleh kehadiran industri itu sendiri. Pengalaman dari pusat-pusat industri nikel seperti Morowali di Sulawesi Tengah memberikan pelajaran yang sangat berharga dan menjadi peringatan keras bagi Raja Ampat. Laporan investigasi mendalam mengungkap bahwa upah tinggi yang diterima para buruh smelter seringkali tidak cukup untuk mencapai kehidupan yang layak. Masuknya puluhan ribu pekerja ke dalam sebuah kabupaten dengan infrastruktur dan pasokan barang yang terbatas secara drastis mendistorsi pasar lokal. Harga sewa untuk satu kamar kos sederhana bisa melonjak hingga Rp 1,5 juta per bulan, dan biaya sekali makan bisa mencapai Rp 40.000. Akibatnya, sebagian besar gaji para pekerja habis hanya untuk bertahan hidup---membayar sewa dan makan---menyisakan sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali ruang untuk menabung atau mengirim uang ke keluarga di kampung halaman.

Jika skenario ini diproyeksikan ke Raja Ampat, dampaknya bisa jadi lebih parah. Sebagai wilayah kepulauan yang terisolasi, biaya logistik untuk mendatangkan barang-barang kebutuhan pokok sudah sangat tinggi. Masuknya ribuan pekerja baru tanpa diimbangi oleh peningkatan kapasitas pasokan lokal akan memicu hiperinflasi lokal yang lebih ekstrem. Harga sewa, makanan, dan transportasi antar pulau akan meroket, membuat upah nominal yang tampak besar menjadi tidak berarti. Kesejahteraan sejati bukanlah tentang berapa banyak angka nol pada slip gaji, melainkan tentang apa yang bisa dibeli dengan uang tersebut. Jika pada akhirnya para pekerja harus hidup berdesakan di akomodasi yang tidak layak dan menghabiskan sebagian besar pendapatannya hanya untuk makan, maka janji kemakmuran dari industri tambang hanyalah fatamorgana.

Fenomena ilusi upah ini diperparah oleh terbentuknya struktur pasar kerja ganda (dual labor market). Industri pertambangan modern yang padat modal dan teknologi tinggi secara inheren menciptakan dua segmen pekerjaan yang terpisah. Di satu sisi, ada "pasar primer" yang terdiri dari posisi-posisi teknis dan manajerial dengan upah tinggi, stabilitas kerja, dan fasilitas yang baik. Posisi-posisi ini, yang menuntut kualifikasi dan keahlian spesifik, hampir selalu diisi oleh tenaga kerja terampil dari luar daerah (migran) atau tenaga kerja asing (TKA). Di sisi lain, ada "pasar sekunder" yang menyerap tenaga kerja lokal. Karena keterbatasan pendidikan dan keterampilan formal, masyarakat setempat seringkali hanya bisa mengakses pekerjaan-pekerjaan kasar, temporer, dan berisiko tinggi dengan upah yang lebih rendah, seperti buruh konstruksi, petugas keamanan, atau jasa penunjang lainnya.

Klaim perusahaan mengenai prioritas perekrutan tenaga kerja lokal perlu dilihat secara kritis. PT Gag Nikel, misalnya, melaporkan bahwa 66% karyawannya adalah tenaga kerja lokal, namun definisi "lokal" ini seringkali ambigu dan bisa mencakup pekerja dari kabupaten atau provinsi lain di Papua, bukan spesifik masyarakat adat Raja Ampat yang tanahnya terdampak langsung. Pengalaman di Morowali menunjukkan pola yang jelas: mayoritas pekerja adalah pendatang, sementara penduduk asli menjadi minoritas di tanah mereka sendiri. Kesenjangan upah dan peluang antara segmen primer dan sekunder ini tidak hanya menciptakan ketidaksetaraan ekonomi yang tajam, tetapi juga menabur benih kecemburuan dan konflik sosial.

Pada akhirnya, diskusi mengenai upah tidak dapat dipisahkan dari definisi kesejahteraan yang lebih luas, yang mencakup kualitas hidup dan keselamatan. Apa artinya menerima upah tinggi jika harus dibayar dengan risiko nyawa? Laporan mengenai kondisi kerja di industri smelter nikel sangat mengkhawatirkan. Jam kerja yang sangat panjang, pengabaian prosedur keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta tingginya angka kecelakaan kerja fatal adalah realitas kelam di balik gemerlap investasi. Antara 2016 hingga 2023, tercatat 39 pekerja tewas hanya di kawasan IMIP Morowali. Kesejahteraan sejati mencakup hak untuk pulang kerja dengan selamat, hak untuk berserikat, dan hak untuk bekerja di lingkungan yang manusiawi---hak-hak yang terbukti sering dilanggar di tengah tekanan untuk mengejar target produksi.

Untuk Raja Ampat, pelajaran ini sangat jelas. Tanpa intervensi kebijakan yang kuat untuk mengendalikan inflasi lokal, tanpa program peningkatan kapasitas sumber daya manusia lokal yang masif dan terukur, serta tanpa pengawasan ketenagakerjaan yang tegas untuk menjamin hak dan keselamatan buruh, janji upah tinggi dari industri nikel hanya akan menjadi sebuah ilusi. Ia akan menjadi umpan yang menarik masyarakat ke dalam sistem ketergantungan baru, mengikis mata pencaharian tradisional mereka yang lebih resilien, dan pada akhirnya, gagal memberikan kesejahteraan yang sejati dan berkelanjutan. Pemerintah dan perusahaan harus menyadari bahwa membayar upah bukanlah akhir dari tanggung jawab; ini hanyalah awal dari kewajiban untuk memastikan bahwa pembangunan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh mereka yang paling berhak, yaitu masyarakat di tanah tempat sumber daya itu digali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun