Pada sebuah daerah nun jauh di Negeri Kayangan, terdapat kisah klasik yang berulang saban tahun. Sebuah daerah yang katanya menjunjung tinggi adat dan budaya, tetapi adat yang satu ini agaknya tak tertulis dalam buku-buku hukum maupun peraturan ASN: adat "siapa orang dalammu?"
Mereka menyebutnya proses meritokratis. Katanya berdasarkan kompetensi, kapabilitas, dan kinerja. Namun di balik layar, meritokrasi itu ibarat topeng mahal yang menutupi wajah kusam koneksi. Jabatan tidak jatuh pada yang berprestasi, melainkan pada yang berkerabat. Tidak diberikan kepada yang bersertifikat pelatihan kepemimpinan, tetapi kepada yang bersertifikat "satu suku."
Mari kita luruskan sejak awal: meritokrasi adalah sistem yang memberi kesempatan berdasarkan kemampuan. Tetapi apa jadinya jika kemampuan itu hanyalah formalitas belaka, karena yang menentukan adalah siapa yang punya akses ke ruang-ruang bisik-bisik berisi peta kekuasaan keluarga besar?
1. Ketika Prestasi Tak Lagi Dianggap Prestise
Bayangkan seorang pegawai muda, cerdas, penuh semangat, lulus diklat, dan pernah menyusun kebijakan yang bahkan menjadi rujukan nasional. Namun saat tiba masa rotasi jabatan, dia kembali ke mejanya yang lama. Sementara seorang "keponakan Bapak" yang baru dua tahun pindah dari dinas A, B atau Z mendadak menjadi kepala bidang perencanaan strategis. Tidak ada yang bertanya mengapa. Semua sudah tahu jawabannya: bukan soal siapa yang paling bisa, tapi siapa yang paling dikenal.
Di sinilah meritokrasi menjadi sandiwara. Ada proses seleksi, ada wawancara, bahkan terkadang ada uji kompetensi. Tapi hasilnya sudah bisa ditebak sejak daftar peserta diumumkan. Siapa yang anak "tokoh masyarakat", siapa yang mantan ajudan, siapa yang satu kampung dengan “bos”, semua punya peluang lebih besar. Tak peduli apakah dia tahu membedakan antara RPJMD dan RPJMN.
2. Fenomena ‘Balas Budi’ ala Daerah
Mengapa koneksi begitu kuat? Karena jabatan di daerah bukan hanya urusan profesionalisme, tetapi juga balas jasa. Seseorang yang ikut berkeringat saat pilkada, yang mengumpulkan massa, menyebar kaos, atau menyusun strategi media sosial, harus mendapat bagian. Maka jabatan struktural menjadi bentuk insentif politik yang sah, meskipun secara aturan jelas melanggar semangat Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014.
Lebih parah lagi, dalam struktur ini, loyalitas kepada pimpinan lebih diutamakan daripada loyalitas pada negara. Jika atasan berganti, maka para loyalis pun ikut tersingkir, tanpa sempat menunjukkan kerja terbaiknya. Seringkali bukan hanya soal kerja keras, tapi kerja silaturahmi: siapa yang rajin hadir di hajatan pejabat, siapa yang rutin mengirim pesan "selamat ulang tahun, Pak", siapa yang bisa menyisipkan pesan lewat istri kepala pemegang kekuasaan.
3. Kesukuan sebagai Alat Ukur
Di satu daerah, ada lelucon yang populer: “Kalau mau naik pangkat, belajarlah silsilah.” Sebab dalam urusan jabatan, bukan ijazah S3 dari universitas ternama yang diperhitungkan, melainkan seberapa dekat marga Anda dengan penguasa. Jika satu rumpun, peluang Anda naik seperti roket. Jika beda suku, maka bersiaplah menjadi abdi abadi.