Mohon tunggu...
Pena Sejati
Pena Sejati Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Mengukir guratan pena fakta dan realita, menguak kebenaran yang terselubungkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Bersama Pena Melatiku

24 April 2018   08:30 Diperbarui: 24 April 2018   12:00 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jasmine Google Search

Aku si pengembara sunyi. Dalam diam aku berjalan menelusuri kota damai ini. Kota dalam balutan selimut syariah dan perdamaian pasca tragedi. Aku ingat pada dirimu, sosok lembut sederhana berilmu, tapi... Seakan aku tertampar kenyataan pahit saat pertama kali kita bersapa.

Kembali ke koridor gang mesjid megah ini. Jantung kota seribu cerita. Wajah demi wajah terus bertatap, guratan senyum sapa pun tak terucap.

Singgah di tempat melepas lelah. Kembali menyeruput kopi pagi dan sebatang kretek. Kebiasaan lama yang sudah tak kulakukan lagi. Sesaat aku merenung, menulis alur cerita dalam logika.

Ah, aku tak mengerti. Kau bahkan lebih keji dari yang kubayangkan. Padahal aku mengenalmu penuh kelembutan. Kesederhanaan dalam balutan kerudung berkacamata, wajah tanpa polesan, dan indah tutur bahasa.

Tapi aku merasa tercambuk dengan kata dan tatapan mata. Kau perempuan yang kupuja, tapi aku kau cerca. Bias kurasa, saat kelembutan menjadi dusta, wajah polos penuh cerca, kacamata haus kuasa, kerudung manis berbalut bisa. Sungguh, hati tercabik terbakar amarah.

Kembali kuseruput kopi pagi. Sisa roti tinggal sepotong lagi. Asap mengepul dari jari-jari, kuluruskan topiku kembali.

Maaf, aku bukan ingin membalas dendam atas apa yang kau perbuat. Kau yang memulai, maka aku ikut saja. Ini permainanmu, bukan mauku. Karena terlanjur kau lukai hatiku, saat kau belum mengenalku, tapi 'dia' telah lebih dulu 'mencoreng' namaku dari hati dan pikiranmu.

Aku tau resikonya. Tapi aku sudah memilih. Aku tau akan seperti apa jadinya. Tapi aku terlanjur pasrah.

Kau, perempuan yang kuhormati, kusanjung, dan kusegani. Kini menjadi tak kusukai, tak kuhargai, bahkan tak kupeduli.

Tuturmu menghinakan, sifatmu merendahkan, bahkan ilmumu menjerumuskan! Licik, picik, nista, dan penuh amarah dendam, kepada orang yang belum kau kenal.

Beruntung aku mengenalmu dari orang yang kuhormati dan kumuliakan. Kuanggap itu merupakan sebuah kehormatan. Dan lagi, kau membuatku sangat iri! Kau dapat 'bersanding' puisi dengan orang yang paling kukagumi. Jujur, aku tak bisa, dan tak akan pernah bisa. Bersama dalam satu media, bersama dalam satu cerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun