Mohon tunggu...
Pena Kusuma
Pena Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Hukum

Saya adalah content writer yang berfokus pada penulisan seputar Sains, Teknologi, Engineering, dan Matematika (STEM), serta update terkini mengenai dunia militer dan geopolitik. Mohon doanya juga, insyaallah saya bisa lolos sekali tes dalam seleksi PAPK TNI tahun 2027.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dampak Strategis dan Implikasi Hukum Penggunaan AGM-158C LRASM dalam Konflik Modern

30 September 2024   12:00 Diperbarui: 30 September 2024   12:02 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: The Pentagon 

Publikasi foto F-35C yang dilengkapi dengan AGM-158C Long Range Anti-Ship Missile (LRASM) oleh Pentagon membawa dampak besar dalam ranah hukum internasional dan hukum nasional Amerika Serikat, khususnya terkait pengembangan dan penggunaan senjata dalam konflik bersenjata. Gambar ini menunjukkan peningkatan kemampuan perang anti-permukaan dari pesawat tempur generasi kelima, yang secara jelas mengindikasikan kesiapan Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman potensial, termasuk skenario konflik di wilayah Indo-Pasifik yang melibatkan Tiongkok.

Dalam konteks hukum internasional, penggunaan AGM-158C LRASM harus dianalisis melalui dua cabang utama hukum perang, yaitu jus ad bellum dan jus in bello. Jus ad bellum mengatur kondisi yang membenarkan suatu negara untuk berperang, termasuk hak untuk mempertahankan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB, yang menyatakan bahwa hak inheren untuk membela diri, baik secara individu maupun kolektif, tidak boleh dilanggar jika terjadi serangan bersenjata terhadap anggota PBB, sampai Dewan Keamanan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Dalam hal ini, pengembangan dan penyebaran senjata seperti AGM-158C dapat dianggap sebagai bagian dari hak negara untuk mempertahankan diri dalam menghadapi ancaman militer yang meningkat, terutama dari kekuatan besar seperti Tiongkok. Kebijakan ini juga sejalan dengan National Defense Authorization Act (NDAA) Amerika Serikat, yang mendukung modernisasi persenjataan untuk mengantisipasi ancaman global.

Dari perspektif jus in bello, penggunaan AGM-158C LRASM dalam operasi militer harus mematuhi prinsip-prinsip hukum humaniter internasional, seperti proporsionalitas dan diskriminasi. 

Dirancang sebagai senjata standoff dengan presisi tinggi, AGM-158C LRASM bertujuan untuk meminimalkan kerusakan kolateral pada objek sipil, sesuai dengan aturan dalam Konvensi Jenewa 1949, khususnya Protokol Tambahan I, Pasal 51(5)(b), yang melarang serangan yang dapat menyebabkan kerugian sipil yang berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang diharapkan. 

Dengan jangkauan sekitar 300 km, AGM-158C memungkinkan F-35C untuk menyerang target laut dari jarak jauh, mengurangi risiko serangan balik, sambil tetap mematuhi prinsip-prinsip hukum humaniter internasional. Pengembangan lebih lanjut untuk memperpanjang jangkauan rudal ini juga dapat dilihat sebagai langkah preventif untuk mempertahankan dominasi Amerika Serikat di wilayah maritim.

Dalam konteks hukum nasional Amerika Serikat, penyebaran senjata seperti LRASM diatur oleh berbagai undang-undang penting, termasuk Arms Export Control Act (AECA) yang menyediakan kerangka hukum untuk pengembangan dan penjualan senjata oleh Amerika Serikat ke negara lain. Selain itu, penggunaan AGM-158C juga sesuai dengan Defense Production Act, yang memberikan wewenang kepada Presiden AS untuk memprioritaskan produksi pertahanan guna memastikan kesiapan militer Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman global.

Kesiapan F-35C yang dilengkapi dengan LRASM memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas keamanan di Asia-Pasifik, terutama terkait kebijakan anti-akses/area denial (A2/AD) yang dikembangkan oleh Tiongkok. Sebagai bagian dari kerangka keamanan kolektif, Amerika Serikat memiliki kewajiban berdasarkan perjanjian keamanan dengan sekutu-sekutunya seperti Jepang dan Filipina, yang menegaskan dukungan militer dalam menghadapi ancaman eksternal.

Secara keseluruhan, pengembangan dan penggunaan AGM-158C LRASM pada F-35C tidak hanya mencerminkan kemajuan teknologi militer Amerika Serikat, tetapi juga memiliki implikasi penting dalam hukum internasional, hukum humaniter, dan kebijakan keamanan nasional. Setiap penggunaan senjata ini harus mempertimbangkan keselarasan dengan prinsip-prinsip hukum perang dan perjanjian internasional, serta dampaknya terhadap stabilitas global dan regional.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun