Mohon tunggu...
Christian Rahmat
Christian Rahmat Mohon Tunggu... Freelancer - Memoria Passionis

Pembelajaran telah tersedia bagi siapa saja yang bisa membaca. Keajaiban ada di mana-mana. (Carl Sagan)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Diskusi, Tradisi Intelektual yang Terabaikan

14 September 2019   15:07 Diperbarui: 15 September 2019   15:04 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika seni berdiskusi dimaknai tidak lebih dari sekadar "ngebacot", di situlah para intelektual sejati harus berdiri mempertahankannya sebagai sebuah tradisi intelektual

Bagi beberapa orang, diskusi mungkin tak lebih dari sekadar ngebacot, lalu hilang begitu saja. Namun, bagi para pemuja ilmu pengetahuan, diskusi adalah seni dan tradisi intelektual yang memiliki kenikmatan serta keindahannya tersendiri. 

Kuantitas serta kualitas diskusi boleh jadi merupakan salah satu indikator utama yang menggambarkan kehidupan intelektual di sebuah tempat, tak terkecuali di lingkungan sekolah dan kampus. Albert Einstein, si jenius abad 20 pernah mengatakan;

"Orang-orang akademis banyak sekali, tapi guru yang bijak dan mulia sangat jarang. Ruang-ruang kuliah banyak dan besar-besar, tapi jumlah anak muda yang haus akan pencarian kebenaran dan keadilan hanya sedikit."  

Pernyataan Einstein tersebut hendak memberikan pencerahan kepada kita bahwasanya apa yang kita kenal sebagai sekolah dan kampus tak pernah menjamin bahwa di sana akan hidup dan berkembang tradisi-tradisi intelektual.

Pernyataan tersebut juga bermakna bahwa tradisi-tradisi intelektual tak hanya tumbuh di lingkungan sekolah dan kampus. Di luar kampus pun, tradisi intelektual tersebut punya potensi untuk tumbuh dan berkembang.

Dengan kata lain, tradisi intelektual itu bukanlah monopoli sekolah dan kampus. Di mana pun, baik di sekolah atau di luar sekolah, di kampus atau di luar kampus, selama masih terdapat manusia yang senantiasa rindu dan haus akan ilmu pengetahuan, maka disanalah tradisi intelektual itu tumbuh subur.

Anggapan bahwa tradisi intelektual tak hanya tumbuh di lingkungan sekolah dan kampus tentu tidak muncul begitu saja tanpa alasan. Di tengah lingkungan sekolah dan kampus yang telah dibayang-bayangi pragmatisme serta oportunisme, kata-kata Einstein menemukan kebenarannya.

Diskusi tak lagi digalakkan, membaca tak lagi jadi kewajiban, menulis tak lagi dibudayakan, serta tradisi-tradisi intelektual lainnya yang kini terabaikan.

Intelektualitas semakin tergerus oleh budaya pragmatisme yang menginginkan semuanya serba instan. Intelektualitas hanya menjadi sebuah kata yang kehilangan makna. Intelektualitas kini hanya dipahami sebagai sebuah formalitas kata-kata belaka.

Seseorang masuk kampus, kemudian ia menyandang gelar sarjana, menyandang gelar sebagai insan intelektual, namun sama sekali tidak berperilaku selayaknya insan intelektual.

Dalam situasi terburuk, seseorang bahkan bisa memperoleh gelar sarjana tanpa mengikuti proses akademik sebagaimana mestinya. Hal-hal semacam inilah yang melatarbelakangi munculnya narasi bahwa sekolah dan kampus tak lagi mampu bertahan sebagai tempat yang melahirkan insan-insan intelektual.

Sebaliknya, sekolah dan kampus malah melahirkan monster-monster yang melakukan penghancuran dengan ilmu pengetahuan.

Sebagaimana seorang penyair kawakan tanah air, W.S. Rendra pernah mengatakan bahwa pada akhirnya, manusialah yang menentukan, untuk apa ia akan menggunakan ilmu pengetahuan. Apakah sebagai alat pembebasan, ataukah sebagai alat untuk melakukan penindasan.

Budaya pragmatisme dan oportunisme, apabila dimaknai secara sempit, memang memiliki kekuatan destruktif yang luar biasa. Sampai-sampai bisa memisahkan komunitas intelektual dari tradisinya sendiri. Tradisi intelektual.

Di antara tradisi-tradisi intelektual yang makin hari makin pudar tersebut, salah satunya yang dapat kita lihat dengan kasat mata adalah diskusi. Sebagaimana telah diantarkan di awal, kampus tak lagi menjadi tempat yang ramah bagi kegiatan-kegiatan diskusi.

Diskusi dianggap tidak lebih dari sekadar ngebacot, dan pada gilirannya dianggap sebagai sesuatu yang nyeleneh di tengah kehidupan kampus yang pragmatis. Begitu hebatnya pragmatisme mencabut akar tradisi intelektual, sampai-sampai pihak yang menolak tradisi intelektual tersebut punya rasionalisasi untuk penolakannya.

Argumen paling klasik yang sering diutarakan adalah tidak adanya keselarasan antara kata-kata dengan perbuatan dari komunitas intelektual yang masih memelihara budaya diskusi.

Sederhananya, buat apa menghabiskan banyak waktu untuk berdiskusi, kalau toh tidak ada upaya untuk merealisasikan ide-ide yang lahir dari diskusi tersebut. Argumen semacam ini masih saja bertahan sampai sekarang dan dipelihara oleh orang-orang yang menolak budaya diskusi.

Padahal, sejatinya, komunitas intelektual tidak punya kewajiban untuk serta merta merealisasikan ide-ide yang lahir dari diskusi sebagai salah satu tradisi intelektual.

Tahap realisasi tentunya adalah ranah para eksekutif pengambil kebijakan. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan komunitas intelektual untuk merealisasikan ide-idenya sendiri.

Tidak pernah ada keharusan bagi komunitas intelektual untuk selalu merealisasikan ide-ide dalam diskusi ke dalam tindakan-tindakan konkret. Narasi semacam itu diciptakan untuk menghilangkan serta menabukan diskusi sebagai salah satu tradisi intelektual.

Ketika kita mengamini bahwa setiap kata-kata kita harus kita realisasikan, maka di situlah skema penghancuran akan dimulai. Kita tidak akan berani lagi berkata-kata. Kita tidak akan berani lagi menulis. Kita tidak akan berani lagi berdiskusi. Kita tidak akan mau lagi membaca.

Kita baru akan melakukan hal-hal tersebut apabila kita memperoleh keuntungan (secara langsung) darinya. Paradigma tersebut pun dengan sendirinya akan menjebak kita dalam keadaan yang stagnan. Kita akan mengalami penyempitan sudut pandang.

Ujung-ujungnya kita akan melihat segala sesuatu hanya dari segi fungsi praktisnya saja. Apabila berguna secara langsung bagi kita, maka akan kita lakukan. Sebaliknya, apabila tidak ada gunanya bagi kita (padahal berguna bagi orang lain, bagi alam), maka akan kita abaikan begitu saja.

Kampus Sebagai Garda Terdepan
Sebagai tempat di mana komunitas intelektual bertumbuh, sudah seharusnya kampus menjadi garda terdepan dalam mempertahankan serta merawat tradisi-tradisi intelektual seperti diskusi. Kampus harus menjadi tempat yang ramah bagi diskusi dan tradisi-tradisi intelektual lainnya.

Kampus bahkan harus secara aktif memfasilitasi diskusi. Ruang diskusi harus diberikan seluas-luasnya. Kampus sekiranya bisa meyakinkan setiap mahasiswanya bahwa diskusi adalah tradisi intelektual yang harus terus dilestarikan, sehingga kecenderungan pragmatisme di lingkungan kampus bisa diminimalisasi.

Di lain pihak, mahasiswa juga memiliki peran yang tidak kalah penting dalam upaya membudayakan diskusi. Para mahasiswa juga harus bisa mengajak rekan-rekannya sesama mahasiswa untuk terus menggalakkan diskusi. Kalangan mahasiswa sudah seharusnya memiliki perspektif sebagai kaum intelektual dalam memandang diskusi.

Apabila secara kasat mata sebagian orang mengatakan bahwa diskusi tidak lebih dari sekadar ngebacot, maka kalangan mahasiswa harus memandangnya sebagai sesuatu yang sakral.

Apabila secara kasat mata sebagian orang mengatakan bahwa diskusi adalah kegiatan tidak berguna yang hanya membuang-buang waktu, maka kalangan mahasiswa harus memandangnya sebagai upaya untuk menopang peradaban.

Hanya dengan kesadaran seperti itulah diskusi sebagai salah satu tradisi intelektual dapat dipertahankan.

Pragmatisme dan Oportunisme Bukan Musuh
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mengkambinghitamkan aliran pemikiran pragmatisme maupun oportunisme. Tulisan ini tidak menempatkan pragmatisme dan oportunisme sebagai lawan yang biar bagaimanapun harus dilawan atau bahkan dihilangkan.

Saya juga tidak akan memosisikan diri saya sebagai idealis yang mengabaikan realita yang ada. Baik individu maupun kelompok tentunya akan mencari, atau setidaknya mengharapkan keuntungan dari apa yang dikerjakannya.

Sama halnya setiap orang juga pasti akan mencari, menunggu, ataupun menciptakan kesempatan untuk dirinya masing -masing.

Harus kita pahami bahwa pragmatisme maupun oportunisme tidak serta merta datang dan merongrong tradisi-tradisi intelektual di lingkungan kampus. Pragmatisme dan oportunisme justru secara sengaja digunakan sebagai tameng oleh sebagian orang untuk menolak dan menghancurkan tradisi intelektual tersebut.

Dengan kata lain, pragmatisme maupun oportunisme telah dimaknai secara sempit dan kemudian diperalat untuk menyerang tradisi - tradisi intelektual.

Akhir kata, mari budayakan diskusi! Mari rayakan intelektualisme! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun