Mohon tunggu...
PKB LANGKAP
PKB LANGKAP Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sejarah Para Pahlawan Indonesia

20 November 2018   12:18 Diperbarui: 20 November 2018   12:23 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional dalamMelawan Penjajah Belanda"

Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 -- meninggal di Makassar,  Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah  seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di  Makassar. Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang  raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di  Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati,  yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari  Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

Menyadari  kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan  ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia  menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3  orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih,  & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada  kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di  Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu  Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton  dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro  menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V  yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang  oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu  tidak disetujui Diponegoro. 

Riwayat perjuangan 

Perang  Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik  Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan  kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat  mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro  yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan  rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir  dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa  Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah  perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil"  yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah  Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja,  ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama  perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan  20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap  Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden  diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai  akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.   

 Penangkapan dan pengasingan 

16  Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo  Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan  agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil  menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari  Batavia. 


28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di  Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak  Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro.  Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga  Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke  Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal  Pollux pada 5 April.

11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan  di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu  keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April  1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih,  Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti  Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.  tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal  Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun