Bandung sudah dikenal dengan surganya kuliner. Sebagian kuliner bahkan sudah dikenal wisatawan sebagai ikonik Bandung. Misalnya colenak dan batagor.
Orang menyebut colenak atau batagor pasti teringat Bandung. Banyak perajin colenak dan batagor, semuanya memberikan cita rasa yang beragam. Intinya bisa membuat penikmatinya jadi ketagihan.
Namun ada satu lagi kuliner yang kini jadi buruan wisatawan, apalagi kalau bukan cilok (aci dicolok). Walau di kota lain ada makanan sejenis itu, namun produk-produk cilok asal Bandung punya tempat di hati tersendiri.
Cilok dijajakan dengan cara bermacam-macam. Mulai dari kelas kafe, warung, hingga pedagang keliling. Seperti halnya colenak dan batagor, kuliner cilok menyasar semua lapisan masyarakat.
Penjualan cilok pun kini tidak cuma dicolok, seperti pedagang keliling. Cilok kini sudah ada yang dipasarkan dengan pengemasan menarik. Bahkan ada juga yang dipesan melalui online.
Menghadapi perdagangan cilok yang kini makin penuh persaingan, Kang Mamat tetap memilih menjual cilok dengan cara berkeliling. Dia sudah 25 tahun menjajakan cilok dari sekolah ke sekolah dan menyusuri permukiman penduduk.
Keyakinan Kang Mamat akan punya pasar tersendiri, karena dia memproduksi cilok lain dari pada yang lain. Sebagian besar cilok yang beredar terbuat dari aci dengan bahan baku singkong. Sementara Kang Mamat bertahan dengan cilok berbahan baku aci berbahan baku kawung (aren).
Makanya kehadiran cilok Kang Mamat selalu dinanti pelanggannya. Bahkan orang yang mengerti kesehatan, seperti para pegawai Puskesmas Cipamokolan Kecamatan Rancasari tidak tergoda dengan cilok lain. Cilok dengan bahan baku aci kawung dianggap punya nutrisi yang lebih bagus.
Sebenarnya Kang Mamat bukan asli Bandung. Dia lahir di Banyuresmi Kab. Garut. Belajar membuat cilok di kampung, Kang Mamat mencoba peruntungan di Kota Bandung. Ternyata cilok buatan Kang Mamat mengena di hati pelanggannya.