Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

kembalikan Tamadun Aceh

1 Februari 2011   17:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:59 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Herman RN

Sejak Aceh mendapatkan keistimewaan lebih dari sisi kewenangan, pembicaraan soal tata kelola pemerintahan terus menggelinding. UUPA bahkan memandatkan Aceh agar memiliki sejumlah keistimewaan yang di antaranya adalah mengatur pemerintahan sendiri.
Bicara soal pemerintahan, baik sistem maupun struktur, tidak terlepas dari sisi politik. Untuk Aceh, sisi adat pun tidak dapat dilekang. Sejak masa berkuasanya Kerajaan Islam Darussalam, sistem dan struktur Pemerintahan Aceh selalu memberikan peluang kepada institusi adat agar masuk ke dalam sistem pemerintahan. Selain itu, pemerintahan di Aceh juga tidak dapat terlepas dari sendi-sendi syar’i sehingga termaktub pada hadih maja yang sudah sangat familiar dalam kehidupan sosial ureueng Aceh bahwa “hukôm ngon adat lagèe zat ngon sifeut”.
Oleh karena itu, tidak salah kiranya dalam kesempatan ini saya pun memiliki pandangan bahwa pemerintahan di Aceh mesti dikembalikan kepada muasalnya, yakni hukum dan adat. Hal ini menjadi penting melihat fenomena yang terjadi sekarang, betapa politik praktis sentralistik telah memberikan dampak perubahan signifikan untuk Aceh. Terlebih lagi masa berkuasanya rezim Orde Baru (Orba) dengan UU No.5 tahun 1979. UU tersebut telah mengikis peradaban Aceh dengan menafikan keberadaan mukim dan gampông sebagai suatu sistem pemerintahan tingkat bawah (lokal).
Alasan lain yang membuat saya mengusulkan sistem pemerintahan Aceh mesti dikembalikan pada tamadun (peradaban) Aceh itu sendiri semakin kuat dengan polekmik wali nanggroe saat ini. Meskipun masih terjadi diskusi tentang wali nanggroe sebagai lembaga pemerintahan atau lembaga adat, tidak salah kiranya catatan kecil ini menyitir soal pemerintahan adat. Apalagi, tulisan ini bukan bermaksud membedah Qanun Wali Nanggroe, melainkan wacana agar pemerintahan adat di Aceh diberikan peluang seperti sedia kala.

Peluang Mukim
Sejak diruntuhkannya sistem pemerintahan adat di Aceh oleh rezim Orba, yang paling berdampak adalah institusi mukim. Keberadaan mukim dan perangkatnya tidak lebih sebagai simbol. Ia ada dan diakui oleh masyarakat Aceh, tetapi fungsi, tugas, dan wewenangnya sama sekali tidak muncul. Oleh karena itu, tatkala dibincangkan bahwa Aceh mesti dikembalikan ke hukum dan adat, seperti sedia kala, institusi mukim inilah yang perlu sekali dibenahi. Mukim mesti diberikan kembali haknya, tugasnya, kewajibannya, dan otoritasnya.
Setidaknya, demikian yang dapat saya tarik dari diskusi “Penguatan Pemerintahan Adat” yang diselenggarakan oleh lembaga Prodeelat, Selasa, 18 Januari 2011 lalu. Guru Besar IAIN Ar-Raniry, Prof. Syahrizal Abbas, yang merupakan pembicara dalam diskusi warung kopi tersebut, mengungkapkan bahwa ada kenyataan sejarah yang tidak dapat dipungkiri di Aceh. Masyarakat Aceh hidup dalam bingkai syariat dan adat. Secara definisi pun jelas bahwa kata mukim yang digunakan sebagai institusi pemerintahan dan lembaga adat di Aceh diambil dari bahasa Arab “muiqimun” berasal dari kata “qama” artinya berdiri, menempati suatu wilayah.
Adapun maksud menempati suatu wilayah di sini adalah orang-orangnya menetap di wilayah tersebut, bukan nomaden. Inilah yang dimaksud dengan wilayah mukim. Hal ini ada kaitannya pula dengan ibadah salat Jumat. Bagi ureueng Aceh yang kuat mazhab Syafi’inya, untuk mendirikan salat Jumat itu minimal harus ada 40 orang yang muqimin—mungkin diambil dari istilah 40 orang ahli Jumat. Hal-hal semacam ini semakin menguatkan kita bahwa tatkala bicara adat di Aceh, tidak terlepas dari sendi syariat, dan itulah tamadun Aceh.
Mengembalikan pemerintahan di Aceh ke tamadunnya, dalam bentuk memberikan peluang mukim pada posisinya adalah sebuah keniscayaan. Mukim di Aceh bersifat reklamasi (perluasan) dan kultur (budaya). Penguatan wilayah kepemerintahan sekaligus melestarikan adat dan budaya Aceh dapat dimulai dari institusi mukim. Mukim punya lembaga lain di bawahnya seperti panglima uteuen (soal hutan), panglima laot (soal laot), hari pekan (soal pasar), keujruen blang (soal ladang), yang masing-masing lembaga itu juga membawahi beberapa institusi lainnya. Artinya, kearifan itu terletak pada kultur suatu daerah. Kultur Aceh ada pada lembaga-lembaga ini yang sudah dikesampingkan oleh undang-undang ciptaan Jakarta, sejak 22 tahun lalu.

Adat di Pemerintahan
Syariat Islam dan adat di Aceh bukan hanya dalam konteks hukum adat. Pada institusi pemerintahan pun dapat dicermati tentang adat. Sistem pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam, seperti saya sebutkan di atas, misalnya, berlaku mukim, uleebalang, dan seterusnya.
Pemerintahan Aceh dalam konteks sejarah memang unik. Satu sisi, menggunakn tatakelola profesional, mampu mengantarkan rakyat Aceh yang adil, sejahtera, dan demokratis. Namun, tatakelola pemerintahan Aceh juga tidak lepas dari syariat. Makanya pada level mukim ada imum chiek, pada level uleebalang ada kadhi muhadzah.
Sistem Wilayatul Faqih, Republik Iran, unik juga tata kelola pemerintahannya. Ada kesamaan dengan Aceh, yakni sama-sama mengedepankan syariat. Bedanya, Iran dengan konsep Wilayatul Faqih, mengharuskan orang yang ahli fiqih sebagai pemegang pemerintahan. Ini syarat mutlak mereka. Di Aceh, tidak mesti ahli fiqih, tetapi pemegang tampuk kepemimpinan di Aceh mesti didampingi oleh yang disebut imum. Ini perbedaan dan kesamaan Aceh dan Iran.
Patut dicermati pula bahwa filosofi mukim dan gampông dalam konteks sejarah adalah filosofi kebersamaan (komunal), bukan individu (personal). Filosofi komunal telah mengantarkan rakyat Aceh pada social responsibility, religius, dan magic. Kita mengenal adanya meuseuraya dalam kearifan orang Aceh, semisal saat musim tanam padi, panen, termasuk merontokkan padi. Akan tetapi, kecanggihan teknologi telah mengikis itu semua. Karenanya, mengembalikan Pemerintahan Aceh ke tamadunnya dengan tetap menjawab tantangan zaman adalah keniscayaan, bukan menghancurkannya mentang-mentang menyongsong zaman dengan istilah-istilah baru walau mesti menggunakan kata ‘Aceh Baru’.[Serambi Indonesia, 1 Februari 2011]

Penulis adalah alumni MPBSI Unsyiah, berkhidmad di Prodeelat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun