Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melimpahnya Lulusan Keguruan dan Kualitas Pendidikan Kita Sekarang!

5 Februari 2017   17:45 Diperbarui: 6 Februari 2017   05:11 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES

Sekarang hampir tidak ada universitas tanpa fakultas pendidikan. Satu sisi, bahwa pendidikan sudah bisa menjanjikan ketersediaan guru, namun apakah itu juga sebanding dengan kualitas pendidikan yang dimaui?

Menarik adalah apa yang menjadi fakta berikut. Beberapa kisah yang memilukan berkaitan dengan dunia pendidikan dan guru sebagai “pondasi” pendidikan berkualitas. Kisah pertama, kakak lulusan awal 80-an SPG kala itu. Kini hanya beberapa yang mengabdikan diri menjadi guru sekolah dasar. Tunjangan sertifikasi sudah menjadikan gaya hidup dan secara fisik bisa bersanding dengan pegawai bank, namun apakah benar-benar sudah menjadi karakter pribadi guru tersebut percaya diri luar dalam? Ternyata tidak sama sekali. Guru ini mengatakan,”Aku kan cuma guru SD, malu dengan kalian....” Penghasilan guru pns meskipun skolah dasar tentu jauh lebih besar daripada dosen di perguruan tinggi kecil, namun toh minder sebagai guru SD ini masih melekat erat.

Kisah kedua, seorang kerabat lulusan perguruan tinggi fakultas pendidikan jurusan olah raga, bertanya soal lowongan WB sekolah negeri, artinya, PNS masih menjadi tujuan. Guru PNS memang sekarang tidak memalukan lagi dibandingkan bertahun lalu. Kuliah di fakultas pendidikan pun bukan memalukan bagi sebagian besar generasi muda kini.

Kebanggan itu mendasar atau sebatas mencari penghasilan yang besar?

Menarik adalah saat ini fakultas keguruan sudah sangat familiar termasuk bagi kalangan muda. Limpahan lulusan tentu membuat persaingan yang ketat sehingga didapat guru berkualitas. Namun apakah semudah itu? Ataukah banyaknya atau besarnya ketertarikan menjadi guru karena harapan mendapatkan tunjuangan sertifikasi? Jika iya, kembali pada masa lalu, pendidikan yang sama saja, alias samimawon. Pengabdian memang bukan berarti bekerja dengan gaji minim, namun mengerjakan karya tidak semata karena upah, ada cinta, memberikan hati, dan panggilan jiwa untuk mengabdi. Andai motivasinya karena tunjangan dan gaji gede, saat menghadapi kenyataan bayaran kecil, seperti WB, guru bantu, atau di sekolah swasta yang tidak terkenal akan nglokro dan tidak menjadi guru yang baik.

Peran dunia pendidikan tinggi sangat besar untuk mendidik calon pendidik ini untuk bisa memurnikan motivasi calon guru ini menjadi lebih baik dan menjadikan mereka guru yang handal bukan semata karena tunjangan sertifikasi. Sekali lagi, bukan berarti guru yang tidak bersertifikat lebih baik bukan demikian. Motivasi dasar sangat membantu kinerja seseorang termasuk guru. Tanpa tunjangan sertifikasipun mereka tetap mengajar dan mendidik  dengan penuh dedikasi dan semangat.

Guru, digugu lan ditiru,sebuah mistisme atau penghargaan?

Menjadi sebuah beban jika tidak memiliki dasar yang kokoh bahwa guru itu memiliki peran sentral. Didengar dan dijadikan teladan, sebenarnya bukan hanya guru, namun telah menjadi sebuah kepercayaan bahwa guru itu haruslah sosok yang “sempurna”. Hal ini membuat guru bisa tidak bebas sehingga merasa seolah mata memandang kepadanya terus. Padahal esensi pendidikan adalah kebebasan, jika guru saja tertekan, bagaimana mengajarkan menjadi pribadi yang bebas dan merdeka? Penghargaan tinggi yang sering salah tafsir sehingga jika guru melakukan kesalahan yang masih manusiawi sekalipun tetap dianggap sebuah bencana.

 Coba saja ada guru yang mengajar menggunakan baju yang kusut, atau rambutnya dicat, atau rambut gondrong bagi yang laki-laki, akan dijadikan bahan pergunjingan. Memang ada kode etik guru yang patut ditaati, namun tuntutan masyarakat jauh lebih berat bagi sosok guru. Baru penampilan fisik, bagaimana peran mereka di masyarakat. Lihat saja, kalau guru pasti akan dijadikan pengurus ini itu, padahal beban kerja, soal administrasi pendidikan, koreksi, menyiapkan soal, dan tetek bengek lainnya yang bisa saja membuat seorang guru stres yang kemudian melakukan tindakan kekerasan di sekolah yang bisa berujung pidana.

Perlindungan hukum dan ketakutan guru di dalam kelas

Jamak terdengar kalau ada guru yang dibawa ke muda peradilan. Perilaku kriminalseperti percabulan, menghamili anak didik atau warga, atau penggelapan, tentu harus dan itu bukan karena guru, namun jika hanya melakukan tendangan, cubitan, atau meminta anak berdiri di depan kelas dan itu baru sekali, bukan setiap saat, apakah ini pantas diajukan  ke meja hijau? UU yang melarang guru melakukan kekerasan memang baik namun tidak harus serta merta diterapkan dengan bak babi buta, sehingga guru tidak bisa menerapkan ketegasan jika menghadapi anak bandel. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun