Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Arti Dua Tahun Pidana Ahok

10 Mei 2017   09:10 Diperbarui: 10 Mei 2017   09:22 3610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Arti Dua Tahun Pidana Ahok

Apa yang diputuskan hakim untuk Ahok layak dilihat dalam berbagai segi, namanya orang politik yang terlibat, susah untuk melihat hukum sebagai hukum yang terjadi. paling tidak ada makna politis dalam beberapa hal.

Pertama, langsung masuk kurungan. Alasan menghilangkan barang bukti, mari tertawa dulu, sekian lama proses hukum ini, berapa juta copi bukti hukum telah beredar. Itu duplikasi, bukti otentik jelas ada karena pasti ada di pemrov sebagai rekaman kegiatan gubernur.  Wajar sih, meski lucu. Melarikan diri, ini lebih lucu lagi, mana bisa wajah Ahok yang sudah begitu tenar, masih bisa menghilang dengan mudah. Apa juga ada orang yang mau membantunya, mati konyol namanya. Di luar negeri misalnya, memangnya Ahok belum dikenal? Sangat lucu jika alasan melarikan diri menjadi pertimbangan. Suaka politik juga riskan karena negara mana yang mau mengambil risiko dengan alasan yang tidak begitu kuat seperti ini. simpati luar akan berhenti paa sikap saja, namun menjadi tindakan sangat kecil kemungkinannya. Kalau yang ini lebih lucu lagi mengulangi perbuatannya. Memang Ahok mulutnya bisa disegel oleh sel? Nyatanya Anas yang pendiam saja masih bisa melakukan banyak hal, apalagi Ahok yang memang comel. Sebagai pidana sangat wajar, Cuma menjadi lucu saja.

Kedua, ini semoga tidak demikian, transaksional atas pembubaran HTI. Mengurangi risiko apapun putusan pengadilan, maka kedua-duanya dinyatakan di waktu yang hambir bersamaan. Gejolak bisa diredam. Namun jika benar demikian, miris negara bisa kalah oleh “pemaksaan” kehendak oleh kelompok apapun dan manapun. Di mana martabat negara jika demikian, semoga bukan ini yang menjadi pertimbangan yang tidak dinyatakan.

Ketiga, nuansa politis, jika hukuman sebagaimana tuntutan jaksa, Ahok masih bisa melakukan banyak hal, termasuk ikut lagi dikompetisi pilkada serentak 2018. Suara yang meminta Ahok untuk memimpin daerahnya, bukan tidak mungkin membuat petinggi parpol gerah dan khawatir dengan sepak terjangnya, yang memang menakutkan. Kalau orang biasa mengapa harus begitu gegap gempita untuk menjatuhkannya, hayo yang mau nyinyir jujur ya.

Keempat, dua tahun artinya hingga 2019, pilpres dan proses sudah usai. Kesempatan Ahok untuk maju di pilpres sudah tertutup. Sejatinya, hal ini lebih cenderung berlebihan, jika dikatakan kalkulasi politik, Ahok tidak akan sanggup bersama siapapun di 2019. Risiko sangat besar, sedang di Jakarta saja sudah demikian, apalagi Indonesia. Sangat tidak berdasar, kecuali sudah sangat paranoid.

Kelima, isu resufle dan hembusan Ahok akan dijadikan menteri, tentu membuat gerah dan panas dingin parpol yang ngebet menambah kursi atau minimal tidak kehilangan kursi. Pidana ini menghapuskan satu peluang untuk kursi tidak jatuh ke luar dari parpol.

Siapa yang paling diuntungkan adalah parpol-parpol malas, karena jelas satu jatah kursi tidak jatuh pada orang yang tidak bisa diatur-atur parpol. Bangsa ini rugi melihat rekam jejaknya yang memang bersih di dalam korupsi, soal mulut kajian lain tentunya.

Putusan hakim itu mutlak, dan banding menjadi salah satu pilihan. Susah untuk bisa berharap banyak tegaknya hukum, jika masih takut dengan intevensi dalam berbagai  bentuknya. Intimidasi, demo yang mengerahkan massa dan memaksakan kehendak. Meskipun selalu dikatakan tidak-tidak, dan tidak berkaitan, toh banyak bukti yang menyatakan sebaliknya.

Pembelajaran untuk kehidupan bersama, bagaimana kebenaran atau kesalahan itu tetap saja subyektif. Obyektif dan kebenaran mutlak bukan dunia tempatnya. Bagaimana dunia Indonesia masih penuh dengan tekanan bisa mengatakan kebenaran yang obyektif, meskipun sulit, tetap masih ada upaya ke sana. Dan seberapapun kuatnya usaha itu jika belum menjadi gaya hidup, sama juga mati konyol.

Separasi mana yang benar-benar taat asas, taat aturan, mana yang jiwanya Pancasila atau bukan. Hampir bisa dipastikan akan ada yang komentar Pancasila hanya disukai oleh kelompok kecil. Jika masih datang komentar tersebut, lihat saja pengaibaikan kelompok radikal bisa melakukan apa saja dengan dalih demokrasi yang sejatinya mereka ingkari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun