Singa Menggembalakan Domba, Sebuah Paradog Iman Katolik
Konklaf untuk memilih Paus atau Uskup Roma sudah usai. Paus Leo XIV, nama yang dipilih Kardinal Robert Prevost. Sangat menarik apa yang disajikan dari pribadi, rekam jejak, dan pilihan Uskup kelahiran Chicago namun berkembang dalam panggilannya di Peru. Berangkat dari negara adikuasa, ingar bingarnya dunia menjadi misionaris di dunia ketiga.
Mazmur 23 mengidungkan sebuah harapan di mana Tuhan adalah Gembala yang akan menuntun ke padang yang hijau. Konteks Timur Tengah, Israel itu penggembala ternak kambing atau domba. Gambaran anak-anak Tuhan yang baik itu domba, dan yang tidak cukup baik itu kambing. Nah, dalam Mazmur ini, penulis Mazmur adalah Raja Besar  Daud seorang penggembala domba di padang rumput yang hijau tentunya.
Pekerjaan penggembala itu selain menjamin ketersediaan pakan dan air, adalah keamanan dan keselamatan hewan yang menjadi tanggung jawabnya. Kitab Suci Abrahamik yang menggunakan gambaran Timur Tengah, khususnya Israel hewan peliharaan sejenis kambing dan domba itu akan menjadi santapan empuk bagi serigala, bukan singa. Tidak ada, habitatnya bukan di Israel jika bicara singa.
Bagaimana indahnya jika sing aitu menggembalakan domba. Itulah surga, kedamaian hakiki, tidak ada pemangsa dan yang dimangsa. Semua adalah saudara di dalam dunia, Pencipta yang sama. Bandingkan dengan manusia yang menindas manusia lain, lihat Yaman, India-Pakistan, Rusia-Ukraina, negara maju memperalat dan ngadalin negara maju. Negara asal Paus Leo XIV inipun sering menjadi pelaku demikian. Kini, ia memimpin untuk berbuat yang berbeda.
Dunia itu diciptakan baik adanya. Manusia hadir dengan ketamakan, pengaruh si jahat, maunya menindas, ekploitasi berlenbihan atas alam dan juga manusia lain. Padahal Sang Pencipta tidak bermaksud demikian. Tuhan Sang Pencipta memberikan manusia kehendak bebas untuk menjadi penguasai bumi, bukan menguasai dengan seenaknya sendiri.
Ekploitasi buruh, sebagaimana pendahulu Paus Leo XIII yang memberikan perhatian, hasil revolusi industri, manusia menjadi budak atas industri. Ia memberikan peneguhan dan dukungan kepada para buruh. Mereka adalah manusia seutuhnya, bukan semata alat kerja. Kini, Paus Leo XIV menjadi penggantinya dengan keprihatinan, di mana AI yang kini menjadi "penguasa" atas manusia.
Beberapa pekerjaan telah tergantikan oleh AI, karya manusia sangat mungkin tereduksi oleh keberadaan mesin yang juga ciptaan manusia ini. Dunia tulis menulis telah cukup lama terinfeksi penyakit ini. Murid dan mahasiswa yang malah cenderung potong kompas untuk mendapatkan hasil terbaik dengan menggunakan aplikasi untuk mengerjakan tugas mereka.
Hal yang sebenarnya tidak boleh terjadi. Alat kerja, kemajuan teknologi itu membantu manusia bukan malah manusia tersingkir karena alat yang mereka ciptakan. Dua sisi mata uang yang tidak bisa disangkal, teknologi membawa kemajuan namun juga ada efek samping, yaitu ada celah untuk menaguk keuntungan sendiri, dan itu adalah perilaku jahat. Pengaruh si jahat meruyak, dan banyak aksi penipuan, plagiasi, dan juga kehilangan karena kemajuan teknologi.
Manusia dan kemanusiaan harus di atas segalanya, termasuk teknologi. Tidak ada arti anti teknologi, sehingga kek hidup dalam gua. Tidak demikian. Teknologi seharusnya menjadi penolong dan penopang bagi kemanusiaan tidak malah memperdayai kemanusiaan untuk manusia lain.
Betapa indahnya dunia dan bumi ini, jika seperti kata Yesaya , bayi akan memasukkan tangannya ke liang ular tedung, macan  makan rumput bersama  kambing, singa makan jerami seperti lembu dan serigala makan rumput seperti domba. Nubuatan masa depan yang penuh kedamaian. Kejahatan tidak aka nada lagi, pemangsa atau predator tidak menakutkan bagi hewan ternak.
Dunia kali ini, masih cukup jauh dari keberadaan nubuatan itu. Kardinal Robert Francis Prevost mengambil nama Leo XIV, singa yang mengau kala ada ketidakadilan, kekacauan, dan intimidasi pada yang lemah. Peran kenabian di Tengah hiruk pikuk dunia dengan segala atribut ketenarannya, kekuatan, dan kekuasaan. Hal yang tidak menjadi focus utamanya. Kegembalaannya tegas namun lembut, karena yang ia gembalakan adalah domba, meskipun ia adalah Singa.
"Ramalan" Nostradamus memang tidak terjadi ketika  Paus Hitam, baca berkulit hitam usai Paus asing dan Paus tua telah mangkat, namun reputasi singa menggembala juga gambaran akhir zaman dari ribuan tahun lalu. Bisa saja demikian. Tidak pun bukan persoalan, hidup tetap berjalan.
Kedamaian, misi yang ia bawa dan emban sebagai seorang tokoh dunia, kepala negara sekaligus kepala Gereja, menjadi jembatan atas kekisruhan dunia yang telah semakin tua. Manusia mau menguasai manusia lain untuk kepuasan dan kekuasaan dirinya. Pun negara menguasai negara lain untuk mengeruk kekayaannya, mana ada negara miskin yang dijadikan ladang perebutan? Tidak ada.
Betapa indah dunia ketika bergandengan tangan, berdaya bareng, bukan malah saling memperdayai. Singa menggembalakan domba menuju padang yang hijau, dan di sana makan bareng sebagai sesame ciptaan. Apakah ini sebuah ilusi? Tidak juga. Lihat saja banyak video harimau merawat anak kijang, kerbau bisa membalas singa yang menerkam rekannya.
Hari ini, seharusnya bicara mengenai perdamaian, tidak sekadar konsep namun factual. Negara maju membantu negara miskin untuk berdaya bersama, Â Â tidak malah memperdayai untuk dicuri kekayaan alamnya. Pun manusia satu mendukung sesamanya untuk bisa sejahtera bersama. Alam adalah ibu yang harus dirawat bukan dieksploitasi berlebihan.
Terima kasih dan salam
Susy Haryawan
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI