Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Apa dengan Jusuf Kalla?

14 September 2020   21:46 Diperbarui: 14 September 2020   21:57 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada Apa dengan Jusuf Kalla?

Dua hal yang cukup layak dilihat atas apa yang Jusuf Kalla lakukan baru-baru ini. Dua hal tersebut adalah, komentar atau dukungan untuk PSBB jilid dua DKI dan penolakan sertifikasi ulama oleh kemenag. Keduanya malah bertentangan dengan kehendak pemerintah. Apakah ini sebentuk kebetulan? Oh tidak, jangan naif. Ini memperlihatkan bagaimana posisi JK sesungguhnya.

Mengenai PSBB tidak perlu banyak-banyak dikupas, meskipun ketua umum PMI, sangat tidak relevan dan tidak ada urgensi pendapat atau gagasan JK, mau mendukung atau menolak. Artinya apapun katanya bisa dinafikan, atau tidak dianggap penting. Tidak perlu berpanjang lebar, karena ini bukan soal kesehatan, atau sosial kemasyarakatan, namun justru politis semata.

Kedua, penolakan sertifikasi ulama oleh kemenag. Katanya, sertifikasi atau pengakuan sahih itu oleh masyarakat. Oke sepakat. Ini jauh lebih realistis dari pada kata pihak legeslatif yang mengatakan legalitas itu dari Allah. Lha MUI juga mengadakan legeslasi ulama, dan itu juga bukan Allah. ada beberapa hal yang Jusuf Kalla abai, yaitu;

Pertama. Negara, bangsa, melalui kementrian adalah juga warga negara, umat, atau jamaah, yang kebetulan memegang tanggung jawab sebagai pemangku kebijakan negara. Artinya secara tidak langsung JK juga setuju.  Jangan abai keadaan faktual yang ada.

Kedua, jangan naif, bagaimana ulama banyak yang tidak kompeten, isi ceramah dan kajiannya jauh lebih politis dari politikus. Isinya kebanyakan mencerca pemerintah, abai soal kandungan agama malah. Ini malah repot jika warga, jemaah, atau rakyat yang membuat mereka dianggap sesat dan tidak mau mendengarkan atas dasar ketidaksukaan, bukan karena benar-benar melenceng. Sangat mungkin terjadi.

Ketiga, faktual pula, dulu, jika kyai kampung yang sangat saleh, tekun, rendah hati, dan penuh kebijaksanaan banyak orang datang mendengarkan ceramah,  pengajaran, dan kajiannya.  Mereka-mereka ini juga masih banyak, namun jangan lupa, ulama medsos tidak kalah banyak. Nah kondisi ini bisa berabe karena kyai sederhana itu tidak lagi bisa membranding diri, ya apa adanya, dan jemaah sudah berpaling. Berkaitan dengan poin berikut.

Keempat. Kebanyakan pemuka agama via media sosial bukan fokus pada isi, konten, atau kajiannya, pokoknya banyak hits, klik, dan komentar karena itu potensi menarik iklan dan pengunjung, dan berujung monetasi. Mau isinya benar atau tidak, mereka tidak perhatikan, yang penting adalah heboh, ramai, dan viral. Uang mengalir.

Kelima, demi viral ini, menjelekan pihak lain, mengulik agama lain, mencerca pemerintah, sebagai hal yang biasa dan wajar. Ini demi mendapatkan rating dan klik.  Apakah yang model demikian ini akan dibiarkan begitu saja?

Keenam, sertifikasi ini jauh lebih penting dan memberikan jaminan pada kyai atau ulama yang saleh, terhormat, dan bijak dikampung-kampung, pesantren-pesantren sederhana, bukan tokoh publik figure di media televisi atau media sosial. Apalagi pengetahuan agamanya saja nol besar.

Ketujuh, warga, jemaah, umat, atau masyarakat jelas memiliki kriteria berbeda-beda, nah negara, pemerintah, dan kementrian itu memberikan jaminan, bahwa apa yang layak bercermah itu sudah sahih dengan sertifikat oleh negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun