Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

7 Kesulitan Menjadi Tommy Soeharto

27 Mei 2020   08:16 Diperbarui: 27 Mei 2020   08:08 2196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

7 Kesulitan Jadi Tommy  Soeharto

Megawatie pernah menjadi presiden, AHY pernah mencoba untuk ikut di dalam kontestasi itu, putera Habibie jauh dari hiruk pikuk politik praktis, kini Tommy  putera Soeharo tampaknya mau ikut-ikutan. Sejatinya sejak 2019 sudah begitu jelas mau apa. Sayang  partainya  hanya menjadi penggembira, dan dirinya yang mencalonkan diri menjadi anggota dewan lewat Papua pun tidak cukup suara.

Kini, di waktu-waktu ini, begitu masif isu-isu komunis yang biasanya heboh pada kisaran September maju pada bulan Mei. Konon peringatan seabad PKI, lha entah benar atau hanya akal-akalan. Tahunya ada peringatan ultah juga karena pandemi ini. Tahun-tahun lalu juga tidak ada dengungan model ini. Apakah September akan menjadi gede, tidak, sudah kehabisan momentum yang dipaksakan.

Keterlibatan Tommy dalam narasi komunis sedikit banyak cukup berarti. Minimal kolaborasi orang-orang yang selama ini ditengarai ada dalam lingkaran mereka. Wajar sih namanya mencari panggung, mendapatkan atau mengais-ngais simpati publik yang sudah tidak ada sama sekali sebenarnya.

Berangkat dari hal-hal itu, terlihat bagaimana kesulitan Tommy. Berikut ulasannya;

Satu, posisi anak Soeharto itu dilematis. Ada satu sisi menguntungkan karena siapa yang bisa membantah soal harta dan jaringan Soeharto masih demikian kuat.  Benar Tommy masih bisa berbuat ini dan itu dengan segala narasi yang dipikirkan dan dikembangkan oleh orang-orang terdekat dan kepercayaannya. Mungkin juga berdampak dalam kondisi perpolitikan nasional.

Toh, tidak menjamin Tommy sebagai pribadi ataupun pelaku politik mendapatkan keuntungan. Sangat mungkin banyak orang yang menjadi kepercayaan itu semata hanya mau uangnya, soal hasil Tommy jadi apa tidak menjadi pertimbangan mereka.

Dua, reputasi Tommy lebih dikenal sebagai mantan napi. Ini tidak bisa dibersihkan sama sekali. Kriminal pembunuh, bukan napol yang bernilai jual tinggi. Sama sekali tidak pernah ada perbaikan jati diri yang coreng moreng ini. Malah sering diingatkan oleh kubu lain dan tanpa ada bantahan atau klarifikasi dari orang-orang mereka. Ini jelas upaya yang makin mementahkan posisi Tommy dalam kancah politik.

Tiga, keberadaan Tommy sebagai anak mami, manja, kolokan, doyan pesta-pesta sekian lamanya tidak pernah bersentuhan dengan politik praktis, susah memberikan bukti ia mampu menjadi pemimpin dalam banyak levelnya. Pengusaha pun susah meyakini ia sukses, sangat mungkin ia adalah pemodal semata dan pelakunya pihak profesional. Tanpa adanya embel-embel peguasa negeri juga belum tentu mampu.

Pembuktian ia sukses sebagai pengusaha, bisa melakukan banyak hal tanpa bapaknya, mungkin bisa membantunya naik dalam pembicaraan nasional. Selama ini perbincangan mengenai pribadinya adalah semua tentang masa lalu.  Masa kini hanya soal isu komunis saja, apanya yang mau dijadikan rujukan dan keyakinan untuk menjadikannya pemimpin?

Empat, Soeharto ahli strategi militer yang memang digembleng pengalaman dan pendidikan. Tommy ini kan hanya ikut pola Soeharto dengan dukungan orang-orang yang kesetiaannya pun tidak bisa dijamin. Mereka hanya dekat karena uang, bukan yang lain. Sama sekali tidak ada pembenahan masa lalu Tommy kog, hanya membuat isu-isu semata.

Copasan yang juga mulai dibaca dengan bosan oleh masyarakat. Kiprahnya nol besar, hanya menggerakan orang upahan, padahal begitu banyak hal yang sebenarnya bisa mereka lakukan dengan dana yang tak terbatas itu, tapi apa mampu dan mau? Susah melihat mereka mau dengan itu.

Sekarang dengan begitu mudahnya narasi yang ada itu terbaca bahwa ini pelaku Cendana. Makin mudah dan murah nama Cendana bukan makin membaik. Ini merusak bukan membantu peningkatan citra Tommy dan keluarga besar.

Lima, Soeharto telat dan memberikan porsi untuk kaderisasi. Tutut memang yang sempat didorong dan menjadi seorang menterinya. Karena terlambat satu periode saja malah menjadi bumerang dan ia terjungkal. Berbeda jika pada periode sebelumnya, Soeharto masih cukup kuat, tidak akan ada yang merani mengusik posisi Tutut. Apalagi sekarang, Tommy pula yang maju.

Citra anak-anak Soeharto susah mendapatkan label positif, toh mantan menantunya pun, Prabowo tetap terbawa-bawa dan kalah dalam dua kali pemilihan. Ini sebenarnya yang seharusnya diperbaiki bukan malah dicoreng moreng dengan narasi oposan yang salah langkah itu.

Enam, jika serius  mau menjadi pemimpin bangsa ini, ya ikut langkah-langkah politik yang mungkin. Era sudah berubah, uang tidak bisa menjadi jaminan. Tommy sudah membuktikan. Ketika masih ada waktu dan kesempatan jauh lebih bijak ia membangun citra positif dengan berbagai cara. Mana orang percaya jika malah ketakutan.

Masa lalu mungkin sukses dengan menakut-nakuti orang, lha kini dengan zaman yang sudah modern, tetapi pola lama yang dikembangkan ya sudah malah dedel duel. Jangan berharap akan mendapatkan banyak tempat. Masa untuk unjuk prestasi saat ini, bukan unjuk senjata demi pemilih.  Sudah habis kesempatan untuk menjadi pimpinan nasional. Apa yang mau dijadikan jaminan kesuksesan sebagai pemimpin? Rekam jejak saja tidak ada.

Ketujuh, jaringan dan link yang dibangun Soeharto dulu sangat lemah, kini jauh dari kapasitas untuk bisa memenangkan sekadar perkelahian. Lihat saja yang berkualitas ke mana muaranya. Yang ada bersama Tommy malah yang kelasnya asal-asalan begitu. Benar mereka tetap setia, membela, namun tidak memperbaiki keadaan.

Mereka malah menjadikan Soeharto olok-olokan semata. Orang-orang yang ada tidak membantu banyak, malah meronrong. Ide, gagasan, dan isu yang diangkt sudah ketinggalan zaman. mosok eranya Valak namun masih juga membawa-bawa suster ngesot yang anak-anak saja terbahak-bahak.

Teman atau jaringan luas belum tentu menjadi jaminan jika tidak berkualitas. Memainkan narasi via sosmed, namun pola pikirnya kuno. Sudahlah Cendana diam dan jadilah diri sendiri saja, dari pada ikut memukuli tembok kokoh itu.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun