Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membaca 94,7% ASN Menolak Ibu Kota Baru dan Narasi Sejenis

28 Agustus 2019   08:39 Diperbarui: 28 Agustus 2019   09:03 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membaca 94,7% ASN Menolak Ibukota Baru dan Narasi Sejenis

Keputusan pemindahan ibukota telah ditetapkan. Lokasi baru telah ada, yaitu di Kalimantan Timur. Cukup riuh rendah mengenai perpindahan ibukota ini. Namun cenderung sama dengan kubu pilpres, minus Prabowo malah yang terdengar.

Cenderung hanya soal eksistensi diri dan biar kelihatan kritis. Cenderung asal berbeda, apa yang dikemukan sebagai alasan pun  lemah, mudah dipatahkan, dan kadang sama sekali tidak mendasar, asal-asalan saja. Pokok pilihan pemerintah harus ditolak.

Aneh dan lucu, Prabowo sebagai pemimpin "oposisi" baik-baik saja mendukung penuh keputusan itu, bahkan konon tanah yang ada dalam hak gunanya dikembalikan bagi kepentingan bangsa dan negara. Nah jika demikian, apa lagi yang diperjuangkan oleh kelompok yang menolak dengan dalih lemah ini?

Salah satu  yang cukup dominan adalah ASN, dengan angka mendekati sempurna menolak. Sangat bisa dimengerti posisi mereka. Dalam survey orang cenderung bermain-main, tidak serius, dan asal-asalan itu mungkin. Toh yang demikian tidak akan tinggi-tinggi amat. Jadi cukup bisa diprediksikan angka ini sangat besar.

Menilik angka survey internal TKN pilpres kemarin, ASN yang memilih Jokowi hanya kisaran 28-an% kog senada dan linier dengan pilihan pemindahan ibukota. Mengapa demikian?

Selama ini, ASN itu jaminan hidup yang paling enak, kerja tidak kerja, pemecatan susah. Gaji jelas bahkan 14 kali per tahun. Remunerasi dan sertifikasi menjadi tambahan keenakan. Kinerja tahu sama tahulah seperti apa. jika dulu catur, pingpong dan baca koran, sekaran ya medsosan atau main games.

Kenaikan pangkat berbasis kinerja seolah tidak ada, permainan dan perputaran uang jauh lebih cenderung menjadi punggawa. Nah dengan pembenahan demi pembenahan, mereka tentu yang paling susah mengikuti pola pemerintahan yang makin baik ini.

Dua reaksi yang sangat bisa dimaklumi, jika pemerintah membuat mereka mati gaya. Persoalan pemindahan ibukota memang akan menyulitkan banyak hal bagi ASN, baik yang benar-benar kesulitan, ataupun hanya karena permasalahan kebiasaan dan perubahan sikap dan kultur saja.

Amien Rais yang menolak dengan dalih Jokowi kemaruk, juga lemah dalam argumen. Hanya mengaitkan keadaan Papua yang sangat jauh dari persoalan keberadaan pemindahan ibukota. Mengaitkan dua hal yang sama sekali tidak saling berkaitan erat, toh lembaga-lembaga terkait masing-masing sudah melakukan tugasnya. Kembali argumennya lemah, bahkan maaf cenderung asal-asalan, tanpa dasar menolak.

Narasi sejenis adalah soal utang negara dan soal pembiayaan. Hal yang sangat mudah dipatahkan oleh menteri-menteri terkait. Pendanaan sudah ada skema yang sangat ringan. Bandingkan dengan apa yang pemerintah daerah ibukota lama minta, jauh lebih besar malah. Lagi-lagi tidak cukup beralasan bukan?

Ada pula analisis abal-abal soal keamanan dengan China yang sangat mungkin melakukan serangan. Aneh dan lucu, ketika orang yang biasa menyebut Jokowi sebagai antekaseng, namun demi menolak ibukota baru malah mengatakan akan mudah serangan dari  China. Logika bengkak-bengkok, asal bengok, dan lagi-lagi tidak berdasar.

Perang era modern tidak perlu susah-susah, soal jarak dan lurus atau menceng sekalipun. Entah kalau otaknya yang tidak lurus. Pola pikir aneh-aneh, antara sok tahu dan tidak tahu malu.

Cawapres Sandiaga Uno sepertinya yang penting komentar dari pada tidak, ketika mengusulkan adanya referendum. Lha buat apa coba, dan itu beaya lagi, pemborosan mahal. Nilai urgensinya tidak ada, dibandingkan dengan beaya yang perlu dikeluarkan. Anggaran yang dipakai referendum bisa untuk membangun. Ribet.

Dari beberapa penolakan, malah terpetakan dengan jelas siapa saja mereka ini;

Petualan tanah yang gagal mendapatkan hasil maksimal dari spekulasi yang terjadi. Sudah ada yang mengupayakan Jonggol. Bisa dibayangkan berapa harga tanah dari pembelian mereka kemudian menjadi harga ibukota.

Ada pula wacana perluasan Jakarta dengan Bekasi dan Tangerang, lagi-lagi rezeki nomplok dari elit parpol, pejabat, dan terutama spekulan lagi-lagi gigit jari. Coba bayangkan saja, jika hanya memperluasan cakupan ibukota, apa bedanya, kemacetan, keruwetan, dan kekisruhan tidak terurai.

Sebagian pihak menuding bahwa jasa demo bayaran bisa mati matapencaharian. Sangat logis, bayangkan saja demo hampir setiap saat ketika ditanya demo apa, atau arti dari tulisan itu apa saja tidak paham. Nah dugaan bahwa itu ada massa bayaran sangat mungkin. Jika pindah, pengerahan massa menjadi sangat mahal dan tidak lagi prospektif.

Melihat sepak terjang ASN, penolakan itu memberikan gambaran, bagaimana sumpah-janji pegawai mereka coba? Mereka abai atau hanya formalitas sehingga lupa apa yang sudah mereka teken, ucapkan, dan nyatakan itu.  Memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak mau, apalagi ada pemikiran memilih pensiun dini.

Kelompok fundamentalis yang sudah merancang dengan matang bertahun-tahun, harus kembali merencanakan tak-tik baru. Susah dengan keadaan baru namun pola lama. Sangat mungkin timbul keanehan-keanehan dan akhirnya malah jadi pengakuan jika melihat sepak terjang mereka akhir-akhir ini.

Penumpang gelap sebagaimana Gerindra lontarkan satu demi satu menguak jati dirinya. Mereka ini adalah beban bangsa sesungguhnya, benalu yang menghisap kesempatan kemakmuran bangsa ini.  

Satu kejadian ini membawa banyak dampak baik bagi kehidupan bersama bangsa dan negara. Wajah dan jati diri  terbuka dengan gamblang. Dan waktunya pembangunan manusia seutuhnya itu bisa dilakukan.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun