Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tri Susanti Akankah Menyusul Ratna Sarumpaet, dan Skenario Gagal?

21 Agustus 2019   18:19 Diperbarui: 21 Agustus 2019   18:34 1336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tri Susanti akankah Menyusul Ratna Sarumpaet, dan Skenario Kacau

Cukup menghebohkan dunia maya dan pemberitaan, ketika ada nama TS yang ada dugaan ada irisan dengan kisah Papua dan juga koalisi pilpres lalu. TS sudah meminta maaf atas celetukan dan bisa pada pihak lain makian monyet yang terlontar. Ia menyatkan itu sebagai korlap.

Cukup menarik, aksi massa aa korlap, demi sebuah reaksi yang katanya ada bendera yang tidak didirikan. Halah beberapa tahun lalu juga sangat sepi, benderapun sangat sedikit yang memasang dan mengibarkan koq. Ke mana waktu itu? Jika ada bendera yang dibuang dan rumah tidak memasang bendera itu perlu korlapkah?

Cukup aneh saja, ini ada upaya koordinasi, karena ada koordinator lapangan. Hayo jangan ngeles dengan bahasa atau wacana. Akan logis jika tindakan spontan, kemarahan ada bendera dibuang dan sebagai patriot marah, itu pahlawan, kalau ini malah jadi ribet.

Beberapa kejanggalan dan irisan peran yang makin aneh.

Ternyata, kemungkinan orang  yang mengaku korlap dan menyatakan aaf pada ucapan yang fatal ini, pernah jadi saksi sengketa pilpres di MK. Toh lucu juga kisahnya di sana. Membedakan masif dan insidental saja kacau, jadi wajar kalau korlap dan spontanitas itu bisa barengan.

Jika hanya untuk memperingatkan mendirikan bendera, apa ya harus pakai korlap, dengan banyak ormas dan orang? Mengapa tidak RT, RW atau lurah, camat dan aparat baik kepolisian dan tentara saja. Apa urgensi dan wewenang mereka dalam hal ini? Boleh dan sah-sah saja jika merasa tergerak oleh rasa nasionalisme? Kalau jadi seperti ini, nasionalisme mana lagi malahan yang dibela.

Mendatangi rumah, asrama, atau  kantor dengan banyak orang dan organ begitu sangat riskan. Apalagi karakter Surabaya dan Papua yang cenderung keras, melihat rombongan dan di dalam rombongan, yakin tidak ada penyusup dan pihak yang kata Gerindra menunggangi? Ini ceroboh, bukan semata abai.  

Emosi massa itu tidak mudah diprediksi, dikendalikan, dan diatur. Ketakutan pribadi larut dalamn hingar bingar kebersamaan. Sangat mungkin yang nyolot monyet itu sangat penakut, karena di dalam rombongan jadi berani. Apa iya reaksi sampai pembakaran seperti ini hanya kata maaf dan selesai begitu saja?

Kejadian yang mirip pernah terjadi. Kisah drama Ratna Sarumpaet, di mana ia mengaku dipukuli dan digoreng ke mana-mana. Dan ketika hendak pergi keluar negeri, ditangkap dan terbongkarlah bahwa itu rekayasa operasi plastik. Demi menutupi kemaluan, ia berkisah bohong ada pemukulan. Kisah ironis yang banyak juga lobang jika mau menelisik lebih jauh. Toh ia dijatuhi dua tahun penjara.

Konperensi pers, mau menghadap kapolri, dan narasi menghebohkan lainnya. ketika menjadi urusan polisi, semua yang teriak kencang itu pun diam. Malahan banyak yang mengaku tidak kenal dan hanya diperalat.  Rekam digital masih lengkap, jangan ngeles ke mana-mana.

Memang dulu kondisinya adalah politis, dan dugaan aroma politik di sana juga sangat terasa.  Jika penegakan hukum benar-benar dilakukan akan sangat mengerikan akibatnya. Dan pihak-pihak yang sempat gegap gempita itu diam seribu bahasa. Ketahuan kalau skenarionya jeblok.

Penerbangan Jakarta Bandung itu sangat jelas, mengapa tidak cek dan ricek barang gampang di genggaman tangan saja. Dan malah ketahuan maaf tololnya, sehingga maunya mempermalukan pemerintah, ingat konteksnya pemilu, dan incumbent, bisa jatuh jika narasi tidak aman terekspose dan menjadi membesar. Gagal total karena gegabah.

Dua tahun cukup lama bagi Ratna Sarumpaet, dan bagi yang sudah ikut berphoto namun kemudian mengaku juga jadi korban itu sekarang ke mana? Mengunjungi Ratna sebagai teman? Tidak akan.  Dan kini ada juga yang mirip. Apakah akan senasib dan senada?

Sangat mungkin paduan suara tidak kenal nyaring terdengar. Apalagi sudah tidak dalam masa kampanye dan kepentingan politik sangat berbeda. 

Koalisi sudah tidak ada dan diperlukan lagi. Narasi paling banter, itu inisiatif pribadi dan bukan kepentingan partai atau organisasi. Nasionalisme abai  situasi, dan sejenisnya yang akan didengungkan.

Penegakan hukum itu penting dan mendesak, jangan melulu pendekatan politis, ingat para pelaku yang pernah teriak-teriak kasus RS masih berkeliaran bebas. Bisa sangat mungkin menutupi kemaluannya mereka kembali terlibat, apalagi memiliki kedudukan kuat, sebagai anggota dewan dibanyak tempat.

Orang bisa merasa bebas dan kembali berulah dengan mengabaikan  efek yang terjadi. Perilaku abai dan ugal-ugalan demikian mengerikan bagi bangsa yang sedang dalam masa tidak mudah seperti saat ini. Jangan angap sepele, sederhana, mengaku khilaf dan selesai. Ini tindakan serius namun  seolah-olah dianggap biasa cukup dengan maaf saja.

Lebih memilukan  para pelaku itu elit publik dan politik. Merasa tidak apa-apa kala berbuat salah dan menebarkan racun kebohongan dan fitnah sekalipun. Bagaimana orang yang mengaku beragama namun sekaligus menista agamanya sendiri dengan perilakunya.

Penegakan hukum dan keteladanan sangat penting agar bangsa ini  menjadi besar dan benar-benar maju. Jangan sedikit-sedikit politis, kemanusiaan, dan HAM, namun pada sisi lain mereka juga pelanggar HAM pada konteks yang lain.

Pendidikan yang turut mendukung sikap tanggung jawab yang lemah. Bagaimana siswa sekarang rendah sikap bertanggung jawabnya. Dengan mudah melempar tanggung jawab atau menuding pihak lain.

Agama memegang peran penting juga. Mengajarkan bahwa agama tidak semata memenuhi kewajiban dan tempat ibadah, namun juga mengaplikasinya dalam hidup bersama sebagai anak bangsa.

Keteladanan. Teladan jujur, bertanggungjawab, berkarakter itu sangat lemah. cenderung abai dalam banyak segi hidup bersama. Elit perlu mengubah diri dulu.

Mudahnya meminta maaf, namun tidak ada perubahan sikap. Sikap permisif dan abai dan mudah lupa menjadi penyakit bangsa ini. Maaf itu  bukan hanya ucapan namun diikuti perubahan dan sikap batin. Tidak semata formalitas.

Memikirkan kemungkinan dan dampak, bukan hanya karena emosional melupakan nalar. Tidak juga penting menuding, menelisik ke mana-mana, ketika tidak ada kehendak baik untuk bebenah dan berubah.

Jangan menuduh pihak lain atau asing, kala bangsa sendiri saja memang lemah karakternya. Suka menjadi antek dan alat pihak-pihak yang mencari keuntungan sendiri dan sesaat.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun