Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Akar dan AHY pada Hari Anak Nasional

24 Juli 2018   06:49 Diperbarui: 24 Juli 2018   07:20 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selamat Hari Anak Nasional, dan gegap gempita perpolitikan nasional juga membawa sebuah kisah menenai anak dan keberadaannya. Tentu anak dalam arti luas, bukan hanya usia namun kedudukan dalam keluarga. Peran orang tua di dalam membantu anak menentukan masa depan anak, dan fungsi orang tua sebagi apa di dalam meneropong jalan di depan sana sebagai salah satu taggung jawab  orang tua.

Sisi lain, Akar, yang memang  anak dalam arti yang sesungguhnya itu, memberikan gambaran anak ecara faktual, nyata, dan tidak dibuat-buat. Di tengah media yang gemar menglaim diri tayangan anak namun dengan konsep orang tua, anak-anak mengatakan pola pikir orang dewasa, bisa bersiasat, berkolaborasi jahat, itu semua adalah pemikiran, buah ratio orang dewasa yang dinyatakan dalam wadak anak-anak.

Belajar dari Akar, ketika beracara bersama Presiden Jokowi, anak ini tiba-tiba menangis, setelah diminta maju di sisi presiden, berhenti menangis, ternyata itu caranya untuk mendapatkan perhatian, usai berkali-kali tunjuk jari dan tidak mendapatkan respons dari presiden. Pertama, menangis sebagai sarana mengungkapkan keinginan yang tidak tersalurkan. Dia berhasil dengan trik kekal abadi itu sampai kapanpun jurus itu mengalahkan apapun. Keren idenya dan bisa nanti dilakukan jika ada kesempatan yang sejajar dengan kisah dan  peristiwa tersebut.

Kedua, memilih yag diinginkan, Akar ketika ditanya presiden, mau boneka maskot Asian Games atau sepeda, ia memilih boneka. Lagi-lagi khas anak, tentu kalau orang dewasa akan memilih sepeda dengan harga jelas lebih mahal. Anak itu apa yang ia belum punya, mungkin Akar sudah punya sepeda di rumah. Ia memilih boneka yang jauh lebih murah, karena jelas ia belum punya.

Ketiga, sikap tamak belum meracuni anak ini, bagaimana ia bisa saja memilih keduanya Bapak Presiden, toh sudah biasa anak itu malak dan maruk. Eh ternyata tidak, bagus belum terkontaminasi pejabat daan elit yang maruk akan uang itu. Harapan besar bagi bangsa dan negara yang lebih baik lagi.

Pada sisi yang berbeda, panggung realitas yang lebih besar lagi, diwartakan bagaimana seorang anak menjadi komoditi dan lebih cenderung menjadi "boneka"" si bapak. Benar bahwa orang tua pernah mengalami muda, namun apakah itu jaminan tahu yang pas bagi si anak?

Model orang tua zaman kuno yang menglaim diri tahu segalanya. Tahu yang terbaik bagi anak, padahal belum tentu. Bahwa tahu lebih luas dan lepas dari sisi iealisme mungkin benar. Jadi bisa memang memberikan pandangan yang lebih luas, lebih banyak, dan pilihan atas berbagai tawaran yang ada.  Itu orang tua modern.

Mengapa AYH dan SBY? Toh hampir semua ketua parpol besar, semua elit memiliki anak, anak mereka juga bisa jika "dipaksakan" untuk ikut kontestasi pilpres kali ini. ada Hanafi Rais, ada Gibran dan adik-adiknya, ada Puan, ada Didit Prabowo, ada pula Ibas, anak Surya Paloh pun wajar jika "dijual" untuk itu. Dan belum tentu lebih buruk. Ternyata tidak. Puan tetap di kabinet, Prananda di legeslatif, Gibran dan adik-adiknya di bisnis, Hanafi tetap di DPR-RI, dan mereka bahagia dengan itu.

Hingar bingar yang melibatkan anak, hanya satu sisi dan dua nama ini saja. AHY bisa kog seperti  Akar tersebut. Bagaimana ia memilih apa yang ia inginkan. Apakah ia bahagia di dunia politik yang baru ia geluti ini? Nampaknya belum, ditandai lebih sering menggunakan atribut berbau militer, masih suka dengan yang berkaitan dengan masa lalunya, dan sikap lain yang memosisikan ciri dan sikap yang belum menikmati benar-benar.

Pak Beye toh sebenarnya memiliki juga Ibas yang sudah sekian lama di dunia politik. Memang sih tidak sesuai dengan ekspektasi yang diinginkan. Nah tanya lagi, apakah benar itu sesuai dengan jiwa dan harapan paling dalam dari pribadi Ibas hidup dalam dunia politik. Susah juga karena sebagai politikus hanya diam saja, tidak pernah berbicara yang bisa mengetahui apa yang ada di balik kepalanya.

Orang tua itu fasilitator bagi tumbuh kembang anak. Komunikasi dua arah dan memberikan alternatif, bukan vonis dan keharusan bagi hidup dan masa depan anak. Moment-moment khusus memang orang tua memberikan sebentuk tekanan dan pemaksaan, namun  bukan untuk jalan hidup dan masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun