Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Efektifkah Pendataan Akun Medsos Mahasiswa dan Dosen Menangkal Fundamentalisme?

9 Juli 2018   05:00 Diperbarui: 9 Juli 2018   07:41 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Efektifkah pendaftaran akun medsos kalangan akademis di perguruan tinggi untuk antisipasi "radilkalisme", media, dan tokoh bicara dengan istilah tersebut. Dalam salah satu artikel Kompasianer Tilaria memberikan komentar lebih memilih fundamentalisme daripada radikalisme, dan ketika melihat KBBI baik online ataupun cetak, memang lebih pas fundamentalisme. 

Untuk artikel ini mau mengupas soal wacana bahkan sudah menjadi anjuran di Unnes, bagaimana pihak kampus mendata akun media sosial. Efektifkah?

Sebagai sebentuk upaya, baik-baik saja, namun apakah efektif da efisien, itu yang lebih penting. Jadi bisa saja dilakukan, namun tentu perlu dilihat lagi banyak hal apakah itu akan memberikan dampak yang cukup signifikan.

Membuat  akun media sosial, semudah membuat mie instan, mau asli dengan nama dan KTP ataupun pasport, ataupun palsu, setengah palsu, bahkan sama sekali berbeda dengan aslinya, sangat mudah. 

Bisa saja laki-laki membuat akun perempuan dan sebaliknya.  Atau anak-anak mengaku orang tua, dan sebagainya. Jadi jelas tidak sesederhana pendataan seperti penduduk misalnya.

Apakah menjamin mahasiswa dan dosen serta karyawan itu akan aktif dengan akun yang didaftarkan tersebut ketika berdiskusi, mengembangkan wawasan mengenai keyakinannya soal fundamentalisme? Sangat diragukan. 

Bisa saja orang dengan nama akun resminya tidak pernah aktif, namun dengan akun lain menjadi pelopor dalam hal tertentu, hal yang sangat mungkin.

Penegakan hukum tanpa tebang pilih jelas lebih mungkin menjadi panglima di dalam menanggulangi faham fundamentalis ini. Bagaimana tidak,  ketika orang bisa seenaknya sendiri menafsir apa itu fundamentalis, sedangkan ia merasa tidak demikian. 

Dan sebaliknya,  ia merasa masih lurus-lurus saja, atau ada yang menilai itu sudah fundamentalis, namun diusut secara legalis tidak mau. Hal ini  karena rumusan yang bisa seenaknya sendiri bisa dimaknai demi aman dan kepentingan sendiri.  Penegakan hukum ini juga perlu  langkah sebelumnya yang jelas.

Rumusan dan definisi yang benar secara baku, mana yang ikut fundamentalis mana yang bukan. Susahnya di masa dan tahun politik ini menjadi serba tidak jelas.  Kepentingan politik saja bisa membuat bebas atau masuk bui, pembelaan dan pelaporan dengan konteks yang sama dan sebangun. Artinya, multi tafsir dan perilaku seenaknya perlu diminimalisasi dengan adanya batasan yang baku dan jelas.

Pembelaan atas perilaku fundamentalis perlu juga menjadi sasaran penegakan hukum. Sikap bertanggung jawab model ini sangat rendah, apalagi ketika mengaitkan dengan politik dan agama. Semua bisa melenggang dan mengatakan seenaknya sendiri, padahal melanggar hukum ditarik pada kebebasan berdemokrasi.  Bedakan dengan jelas mana demokrasi, mana fundamentalisme.

Kesetiaan pada azas dan komitmen hidup berbangsa dan bernegara. Jelas dasar negara adalah Pancasila, itu telah final dan mengikat, namun ada orang yang atas nama demokrasi mengangkangi itu dan menyatakan landasan lain masih boleh diusahakan. 

Elit pun ada yang dengan terbuka  mengatakan  Pancasila hanya menjadi alat, ketika sudah mampu dengan jalan lain, Pancasila ditendang, dan dibiarkan saja. Di mana komitmen dan kesetiaan akan hidup bersama jika demikian. pembiaraan sekian lama terjadi, termasuk elit pemerintahan, apalagi legeslatif.

Memang dunia akademik itu dunia bebas, dunia di mana kebebasan berpikir dan berdiskusi dijunjung tinggi, namun ketika sudah keluar dan menggunakan media massa, memaksa orang lain ikut alur pikir dan kepercayaannya, jelas bukan lagi kebebasan akademik yang berbicara. Kedok di mana kebebasan akademik dijadikan dalih untuk berbuat yang mereka sendiri akui bahwa itu melanggar konsensus.

Pembatasan media sosial juga bukan solusi cerdas dan modern, namun membina pribadi yang taat azas menjadi penting. Bagi dosen dan karyawan taat akan sumpah-janji pegawai, di mana menjunjung tinggi Pancasila dan UUD '45. 

Padahal pelaku yang melanggar sumpah-janjinya ini juga bisa dijerat dengan pasal korupsi, mereka menerima gaji PNS, yang negeri, dan malah mengkhianati Pancasila sekaligus.  Kesalahan bukan pada medianya, namun pada orang yang memang memiliki tabiat munafik dan mendua, ini jauh lebih penting.

Pendidikan karakter, toh beberapa sekolah dan perguruan tinggi bisa diandalkan reputasinya, ini masalah kemauan dan pernah ada pembiaran. Bukan hanya pada perguruan tinggi, bahkan sekoah dasar saja sudah ada guru yang berperilaku demikian. 

Murid  harus seperti ini dan itu, sekolah lanjutan harus ini dan tidak boleh itu. Atau guru berperilaku rasialis, tidak mau bergaul dengan yang berkeyakinan berbeda.

Pengawasan, bukan dalam arti seperti era Orba, adanya rekan, kakak kelas atau kakak tingkat yang kalau dosen ya rekan dan atasan yang memberikan pendampingan, saling mengingatkan jika melenceng, pembiaran, semua paham kog orang mana yang intoleran, awal dari benih fundamentalisme, namun diam saja, tidak ada saluran yang bisa dijadikan muara dan pelaporan.

Ruang dan kesempatan, termasuk elit yang bisa seenaknya sendiri menafsirkan mana yang menguntungkan mereka termasuk fundamentalis akan dibela, nasionalis karena menjadi rival bisa menjadi bulan-bulannya. Hal ini pun perlu dihentikan, tidak akan ada gunanya mahasiswa dan dosen didata, jika elitnya pun seenak udelnya di dalam perilaku fundamentalis ini.

Tidak cukup menjamin, namun paling tidak ada upaya. Perlu didukung, namun bukan berhenti pada pendataan saja, ada tindak lanjut, lihat akun di K saja banyak yang memiliki keyakinan antipancasila bisa melenggang kog.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun