Mohon tunggu...
Patta Hindi
Patta Hindi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lahir di Sulawesi Selatan, tapi tumbuh kembang di Kendari Sulawesi Tenggara I Mengajar di Universitas Swasta I fans klub Inter Milan I blog http://lumbungpadi.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menuju Masyarakat Konsumsi

15 April 2011   15:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:46 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam ekonomi kapitalistik, produksi selalu mencari konsumen sebagai pasar. (kompas, akal sehat dalam dunia konsumsi, Jumat/15/04/2011). Celakanya, masyarakat Indonesia yang sebagian besar keranjingan belanja (shopaholic) menjadi ranah "empuk" dari produk-produk global. Kondisi ini mengingatkan kita pada pemikir ekonomi klasik, Robert Malthus, fase dimana masyarakat berada dalam masyarakat konsumsi tinggi.

Kondisi ini perlahan-lahan bergerak dari logika produksi ke logika konsumsi. Baudrillard (2009) tentang masyarakat konsumsi menjelaskan bahwa pengetahuan dasar tentang kebutuhan berhubungan erat dengan pengetahuan dasar tentang kemapanan dalam mistik persamaan. Tesisnya menandakan semua sama dalam nilai tanda. Tidak yang miskin maupun orang kaya. Seperti halnya barang-barang yang di pajang di mal dengan merek terkenal, semua orang bisa membeli-tak mengenal miskin maupun kaya (sulit membedakan orang2 yang ke mal-tak mengenal lagi latar belakang sosial ekonomi).

Mengkonsumsi “kehampaan” dalam kehidupan

Tesis dari George Ritzer dengan karya akademik The Globalitation of Nothing, yang telah diterjemahkan-Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi juga menarik dicermati.  Ritzer memberikan deskripsi yang provokatif, mengkonsumsi kehampaan di era globalisasi atau globalisasi ketiadaan, bahwa gerak masyarakat pada zaman ini menuju pada pada kehampaan. Dalam Defenisi kehampaan menurut Ritzer :

“...menunjuk pada sebuah bentuk sosial; yang umumnya disusun, di kontrol secara terpusat, dan termasuk tanpa isi substantif yang berbeda. Defenisi ini membawa serta didalamnnya tidak ada keputusan tentang yang diinginkan atau tidak diinginkan dari bentuk sosial seperti itu atau tentang kelaziman yang makin meningkat...” (Ritzer, 2006 : hal. 3)

Menarik lagi defenisi yang pernah diekemukakan para filsuf pendahulu, Martin Heiddegger, Jean Paul Sartre, yang sudah lama memberikan pemahaman tentang kehampaan (mewakii tempat-bukan tempat, benda-bukan benda dan seterusnya). Tesis Ritzer ini memberi gambaran bagaimana kehampaan dalam produksi dan konsumsi dalam masyarakat konsumer menjadi tak memiliki makna. Konsumsi yang berlebihan yang berujung pada prlilaku konsumtif.

catatan :

* gambar di unduh : http://fridyna.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun