Mohon tunggu...
Samsiatul khusna
Samsiatul khusna Mohon Tunggu...

PELAJAR DI SAMPOERNA ACADEMY

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akhirnya Cinta

23 April 2015   20:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:45 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhirnya Cinta

Dia adalah seseorang yang sangat dekat denganku. Namanya Dimas, dia mempunyai seorang adik perempuan yang juga dekat denganku. Aku juga sangat akrab dengan keluarganya, bahkan adik bungsunya sangat dekat denganku. Hingga tak jarang aku bermain di rumahnya dan menginap. Mungkin karena aku anak tunggal, aku sering merasa kesepian. Rasanya ingin sekali aku bisa mempunyai seorang saudara, sampai-sampai aku pernah menyarankan kepada ibuku untuk mencari anak angkat. Namun ibu tidak menyetujuinya, mungkin karena ayah yang kini sudah tidak bersama kami lagi. Ayahku bernama Ridwan, dia adalah sesosok pria yang tampan dan sangat penyayang. Namun, sayangnya kejadian dua tahun lalu yang membuat kami tidak bisa bersama lagi.

Ayahku memilih untuk menikah lagi dengan seorang wanita cantik berdarah padang itu. Karena wanita itu, kini aku tidak dapat merasakan kasih sayang ayah lagi. Dan karena kejadian itu pula, sedikit demi sedikit kebencian mulai tertanam di benakku untuk seorang lelaki yang tak seharusnya aku benci. Kini aku hanya tinggal bersama sang ibunda tercinta. Wanita yang rela memperjuangkan kebaghagiaanku, wanita yang selama ini selalu melindungiku. Aku tak rela jika ada seseorang yang membuatnya meneteskan air mata. Berkat ibuku juga, sekarang aku masih bisa bersekolah hingga aku duduk di bangku kelas tiga SMA. Semangat hidupku adalah ibuku, aku sangat menyayanginya.

Huffff,,, sepertinya sudah cukup aku mengingat semua kenangan pahit di masa laluku. Sekarang sudah saatnya aku melihat ke arah depan, ke arah di mana masa depanku ada. Walaupun ini semua terlalu sulit untukku lewati, tetapi di sampingku ada Dimas yang selalu  yang selalu memberi semangat untukku. Sudah cukup lama kita bersahabat. Selama ini Dimas yang rela mengantar dan menjemput aku ke sekolah.

****

Aku mendengar suara memanggil-manggil namaku berulang kali.

“Tuva,,Tuva?” Aku mencari di manakah asal suara itu. Ternyata suara itu berasal dari depan pintu gerbang rumahku. ”Iya Dim, tunggu sebentar ya” di sana tampak seorang anak laki-laki yang memakai baju seragam sekolah dengan mengendarai sepeda motornya. Akupun bergegas mengenakan sepatu dan berpamitan kepada ibu untuk berangkat ke sekolah.

“Bu, Tuva berangkat dulu ya” Sambil mencium tangan ibu.

“ Iya sayang, kamu hati hati ya. Yang rajin belajarnya.”

Tanpa cakap panjang lebar, aku langsung naik ke boncengan sepeda Dimas. Udara pagi yang menyapa lembut kulit ku tak dapatku tahan lagi, aku merasakan dingin yang menusuk tulang-tulangku. Di tengah perjalanan aku memandangi jalan sekitar perkampungan. Aku masih ingat, dulu ketika ayah mengajariku bermain sepeda. Aku sangat merindukan masa-masa itu, aku ingin keluargaku kembali seperti dulu lagi. Kembali utuh seperti sedia kala, masih ada ayah dan ibu. Tapi sayangnya semua itu terasa tidak akan mungkin pernah terjadi, mungkin itu hanyalah sebuah mimpi bodoh ku.

****

“Hay Tuva,,,mau kemana?” seorang laki-laki menyapa ku dari belakang.

Lagi mau ke perpustakaan nih Bar, mau ngembaliin buku.”

“Boleh ikutan nggak?” Dia berusaha membarengi langkahku.

“ Boleh kok, ikut aja kalau kamu mau. Lagian nggak ada yang nglarangkan?” Seolah dia bertidak seperti orang paling aneh kedua yang pernah aku temui setelah Dimas.

“Ya kan siapa tau aja cowok kamu marah gara-gara aku deket-deket sama kamu”

Kata-kata yang baru saja terlontar dari bibir manis Bara seolah terdengar mengejekku. Mungkin dia tidak tahu ataukah lupa jika aku tak pernah memiliki pacar sama sekali. Tapi, aku barusaha mencerna kata-kata yang terucap dari bibirnya. Laki-laki itu Bara, dia laki-laki yang sangat di gemari anak perempuan satu sekolah ku. Dia sangat terkenal play boy. Dulu aku pernah menaruh hati padanya, tapi dia tidak pernah tau perasaanku hingga sekarang rasa itu perlahan pudar dan menghilang. Dimas tidak mengetahui hal ini, entah apa jadinya jika Dimas mengetahui tentang perasaanku terhadap Bara. Tak jarang aku berharap untuk mendapatkan pengganti, aku berharap ada seseorang yang kelak bisa menghilangkan suramnya isi hatiku. Setelah sampai di depan pintu perpustakaan kami masuk dan malakukan kepentingan masing-masing. Saat aku berputar-putar mencari buku bacaan, aku tersentak. Buku yang ku bawa di tangan ku berjatuhan. “aduh” keluhku sembari memunguti buku-bukuku yang terjatuh di lantai. “Makanya kalau lagi jalan lihat-lihat dong” Nadanya meninggi. “Bukannya minta maaf, malah marah-marah” Gumamku dalam  hati. “Maaf ya, aku tadi lagi nggak ngeliat jalan” Aku mengulurkan tangan ku untuk meminta maaf. Tanpa menghiraukan sedikitpun permohonan maafku, dia langsung enyah dari hadapan ku. Sebelumnya aku tak penah bertemu dengannya, siapa dia? hatiku bertanya-tanya. Tanpa pikir panjang, aku langsung beranjak dari tempat itu dan pergi mencari Dimas.

****

“Kamu tau nggak cowok yang sombong itu? Kayaknya aku belum pernah lihat dia sebelumnya di sekolah ini” serkahku dengan penuh rasa ingin tau “Memang, dia kan baru dua minggu yang lalu pindah ke sini, memangnya ada  apa?”. Lalu aku menceritakan apa yang terjadi tadi siang, Dimas terbahak-bahak mendengar ceritaku. “Kamu kenapa sih, kok malah ketawa?” aku yang merasa sedikit kesal karena ulah murid baru itu. Sekarang ditambah dengan gurauan Dimas yang sama sekali tidak lucu menurutku. “Ya habisnya kamu lucu sih” bahkan aku merasa tidak ada yang perlu ditertawakan sama sekali. Mungkin dia sudah lelah dengan hidupnya, sampai-sampai dia jadi seperti ini. Tak kuhiraukan lagi semua perkataan Dimas yang semakin lama semakin tidak dapat dicerna oleh akal. Semenjak pertemuanku dengan Reza dua hari yang lalu, aku merasakan sedikit hal yang berbeda terhadap Reza. Reza yang terkenal cuek, ternyata dibalik itu semua dia sangat baik. Setelah kejadian siang itu dia menemuiku dan meminta maaf kepadaku.

****

Aku merasa ringan. Tubuhku mengayun di atas awan. Dia datang dengan setangkai mawar di tangan dan segores senyum di bibir. Kami saling menatap dalam senyap. Tak ada yang perlu diucap karena semua telah jelas. Aku mencintainya. Dia mencintai aku. Kami saling mencintai. Hidup, entah mengapa menjadi begitu berbeda. Terasa lebih berwarna. Di bawah langit biru itu kami menepi, memandang senja yang baru saja jatuh di sebelah Barat. Dia mulai menggenggam tanganku erat. Awalnya aku gemetar, butuh waktu untuk membuatku terbiasa dan merasa nyaman. Ini kali pertama aku datang ke rumah Reza. Rumahnya begitu luas dan megah. Di depan sana, sebuah kolam renang terhampar, berbentuk oval dengan taman bunga di sekitarnya.

“Aku sering merasa kesepian di sini,” akunya dengan pandangan berkelana. Baru saja dia bilang dia sering ditinggal sendiri di rumah ini. Kedua orangtuanya yang sibuk dengan bisnis masing-masing. “Aku harap, setelah ini kamu akan sering main ke sini.” aku hanya tersenyum mengiyakan. Tentu aku tak merasa keberatan, karena berada di dekatnya aku merasa candu. Ya, candu. Aku ingin melewati hari demi hari, pekan demi pekan, bulan demi bulan bersama, tak pernah mengenal kata usai. Andai .....

Setelah cukup lama aku menjalin hubungan dengan Reza, perlahan-lahan Dimas mulai menjauhiku. Aku sendiri kurang mengetahui sebabnya. Apakah dia merasa cemburu jika aku dekat dengan Reza? Tapi rasanya tidak masuk akal sama sekali. Selama ini, aku menganggap Dimas hanya sebatas sahabat. Bahkan aku tidak pernah sedikitpun berfikir untuk memiliki hubungan lebih dengannya. Dia juga jarang main ke rumah, tidak seperti biasanya. Terkadang aku mulai merindukan kehadirannya di sampingku. Dia yang selalu membuat aku tersenyum dikala aku sedang menghadapi masalah.

****

Beberapa pekan berselang. Waktu telah menunjukkan angka enam pagi ketika Reza tak juga datang ke tempat di mana biasanya dia menjemputku, di depan rumahku. Aku mulai merasa panik. Aku takut jika sesuatu yang buruk telah menimpanya. Aku menghubungi ponselnya, tetapi tidak ada jawaban darinya. Tak lama kemudian ponselku berdering. Rupanya itu Reza. Akhirnya aku bisa menghilangkan rasa khawatirku terhadapnya. Namun, setelah aku menjawab telepon itu yang terdengar di sana adalah suara seorang perempuan yang memberitahukan bahwa Reza tengah mengalami kecelakaan, dan kini sedang di rawat di rumah sakit. Aku menangis mendengar hal itu, aku langsung mematikan teleponnya dan bergegas menuju ke rumah sakit tempat di mana Reza di rawat.

****

Aku melihat tubuhnya yang terbaring lemas. Perlahan aku menghampirinya dan menyentuh tangannya. Tak sengaja aku telah membangunkannya. Dia menatapku dengan pandangan penuh harap.”Maafin aku ya, aku nggak bisa jemput kamu tadi pagi”

“Iya nggak papa kok, kamu udah mendingan belum?” tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sayu. “Seperti yang kamu lihat sekarang” dia menjawab sambil berusaha memberikan senyuman yang menandakan bahwa ia baik-baik saja.

Hari mulai larut malam. Aku tak kuasa jika harus meninggalkan Reza dalam keadaan sakit seperti ini. Apalagi dia sendirian, aku khawatir sesuatu yang buruk terjadi padanya. Di tengah gelap gulita aku memandangi bintang-bintang yang bermunculan di langit. Tak sengaja aku menyenggol tangan Reza. Aku kaget, suhu tubuh Reza sangat tinggi, aku panik dan berusaha untuk memanggil dokter. Namun, tangan Reza menahanku.

“Jangan tinggalkan aku” suara terdengar lesu.

“Aku hanya ingin mengambil air untuk mengopresmu, suhu tubuhmu panas sekali” sergahku.

“Peluk saja aku, itu sudah lebih dari cukup bagiku” dia menatapku sayu. Terlalu sayu untuk kujawab dengan tolakan. Dia sedang sakit, mana mungkin aku membiarkan dia sakit sendirian. Perlahan aku mulai mendekatinya dan menambatkan pelukku di dadanya. Sesaat, rasa panas menyebar, menyatukan degupku dan degupnya dalam satu irama senada.

****

Fajar terbit dari sebelah Timur, lalu bergerak naik menuju altar langit. Perlahan aku membuka jendela kaca. Seketika itu juga Reza terbangun dari tidurnya. Dia mendekatiku dan membisikan sesuatu dengan lirih, hingga nyaris suaranya tidak dapat terdengar olehku.

“Aku cinta kamu.”

“Maksud kamu” aku bingung ketika dia mengucapkan kata-kata itu.

“Iya aku cinta sama kamu, aku mau kita bisa selalu bersama seperti ini.”

Akhirnya cinta yang ku nanti-nantikan datang juga. Dengan sedikit ragu aku menjawab kata-kata Reza.

“Aku juga sayang sama kamu.”

****

Semenjak kejadian itu, aku dan Reza sering sekali terlihat bersama. Hingga suatu hari ketika dia menelfonku dan mengatakan jika dia tidak bisa menjemputku malam itu dengan alasan orang tuanya sedang sakit. Aku memaklumi alasannya. Namun, ketika aku sedang pergi ke toko buku sendirian, tak sengaja aku melihat sesosok laki-laki yang ‘tak lain dia adalah Reza. Dia sedang bermesraan dengan seorang wanita, yang aku sendiri ‘tak pernah mengenal wanita itu.

Dari belakang Dimas berlari ke arah Reza dan menjatuhkan pukulan ke wajahnya. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Hanya suaraku yang dapat menghentikan mereka.

“Cukup.” jeritku tak kuasa menahan air mata.

Tak lama setelah itu, merekapun menghentikan pertikaian mereka. Reza mengejarku dengan sekuat tenaganya. Di saat aku tengah lelah berlari, kesempatan baginya untuk mengejarku.

“Tuva,,,tunggu!”

“Maafkan aku Tuva, semuanya tidak seperti yang kamu lihat. Aku mohon, dengarkan dulu penjelasanku”

“Apa lagi yang perlu di jelaskan. Jelas-jelas semuanya sudah jelas.”

“Aku mohon maafkan aku, aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu.”

“Aku sudah memaafkanmu. Tapi, untuk kembali ke titik awal itu adalah dua hal yang berbeda menurutku”

“Apa maksud mu, apa selama ini kau tidak mencintaiku?”

“Jika aku mencintaimu lantas kau mau apa?”

“Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu lagi”

“Aku tidak bisa kembali padamu lagi”

Aku pergi meninggalkan Reza sendiri terpaku di bawah pijar lampu jalan. Aku tidak pernah menyangka jika seperti ini jadinya. Reza yang begitu aku cintai, dengan teganya dia menghianatiku.

Cinta. Seandainya harus kudefinisikan, mungkin hingga sekarang tak akan aku lakukan, karena sedari awal aku tidak percaya cinta. Cinta telah membuat ayah pergi. Cinta telah membuat ibu menjanda. Cinta telah membuat aku trauma. Trauma akan rasa kehilangan.

****

Aku termenung sendirian di kamar. Aku tidak ingin makan dan ataupun diajak berbicara. Ibu bingung melihat tingkah lakuku yang kian hari bertambah aneh. Pagi itu aku mendengar suara ketukan pintu. Ketika aku membuka pintu, aku terkejut. Di sana terlihat seseorang yang sedang tersenyum kepadaku, dia adalah Dimas.

“Hay!” aku mencoba menampakkan sedikit senyumku, namun itu semua gagal. Sepertinya Dimas sudah mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi padaku. Dari cara dia menatapku, aku sudah merasakannya. Dimas memilih untuk tidak masuk ke dalam rumah, dia lebih memilih untuk duduk di beranda. Tepat ketika aku mengenyakkan tubuhku di kursi, aku melihat dia memangku gitar. Terlihat manis dan menyenangkan. Dia mamainkan sebuah lagu yang liriknya tidak terdengar asing di telingaku.

Aku telah memberimu isyarat

Isyarat yang cukup mengisahkan segalanya

Tentang aku dan kamu

Tentang malam yang tak lagi gulita

Tentang duka yang tak lagi ada

Denganmu aku belajar

Belajar percaya pada cinta

Aku telah memberimu isyarat

Isyarat yang berarti aku cinta kamu

Lebih dari yang aku duga

Lebih dari yang aku sangka

Tapi aku salah

Kamu tak penah menganggapnya ada

Hanya bibir tak kuasa berbicara

Aku salah

Aku salah menilaimu

Isyaratku tidak terbaca olehmu

Itulah lirik lagu yang ia nyanyikan untukku. Aku tak bisa menahan tetesan air mata yang nyaris menetes. Lagi-lagi aku mengingatnya, mengingat orang yang telah membuat aku sakit hati. Aku sudah kehilangan orang yang aku cintai, aku tidak mau lagi jika harus kehilangan Dimas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun