Mohon tunggu...
Parlin Tua Sihaloho
Parlin Tua Sihaloho Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis, membaca dan menonton

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Etanol dan Krisis BBM: Membedah Arah Baru Kebijakan Energi Nasional

14 Oktober 2025   21:16 Diperbarui: 14 Oktober 2025   21:16 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahan bakar bio (Sumber: Petromirales)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru saja meluncurkan kebijakan penggunaan campuran bioetanol pada bahan bakar minyak (BBM), dimulai dengan E5 di Surabaya dan direncanakan menuju E10 secara nasional. Pemerintah menyebut langkah ini sebagai bagian dari komitmen transisi energi menuju net zero emission dan upaya menekan impor BBM fosil. Namun, kebijakan ini hadir di tengah fenomena kelangkaan BBM di berbagai daerah, dari Sumatera hingga Indonesia Timur yang ironisnya masih menjadi wajah nyata ketimpangan energi nasional.

Kebijakan etanol ini perlu dibaca lebih dalam dari sekadar inovasi teknis. Ia adalah indikator arah politik energi nasional: apakah transisi energi kita benar-benar berkeadilan dan berpihak pada rakyat, atau justru menjadi proyek simbolik yang menguntungkan korporasi besar dan investor biofuel.

Secara teknis, bioetanol merupakan bahan bakar nabati berbasis fermentasi tanaman berpati atau bergula seperti tebu, singkong, dan jagung. Dalam skema E5 atau E10, etanol dicampur dengan bensin hingga 5--10 persen. Pemerintah menargetkan substitusi impor BBM sekitar 5% dalam beberapa tahun ke depan dan berharap produksi etanol domestik mampu menghemat devisa serta menciptakan lapangan kerja di sektor pertanian.

Namun di balik retorika hijau ini, terdapat tantangan besar di hulu. Kapasitas produksi bioetanol nasional saat ini masih di bawah 60 juta liter per tahun, jauh dari kebutuhan potensial jika kebijakan diperluas secara nasional. Sebagian besar bahan baku masih terkonsentrasi di industri besar berbasis tebu, sementara petani kecil belum terlibat secara sistemik.

Lebih jauh lagi, kebijakan ini berisiko menciptakan ketergantungan baru pada industri bioetanol besar, menggantikan ketergantungan lama pada impor minyak. Alih-alih membangun kemandirian energi rakyat, kebijakan etanol bisa berubah menjadi bentuk baru "ekstraktivisme hijau", di mana transisi energi dipakai untuk melanggengkan kepemilikan sumber daya oleh segelintir korporasi.

Kelangkaan BBM yang belakangan terjaditerutama di wilayah-wilayah luar Jawamembuktikan bahwa distribusi energi di Indonesia belum berdaulat dan berkeadilan. Di saat rakyat antre solar dan pertalite, pemerintah meluncurkan program etanol yang belum menyentuh kebutuhan dasar energi masyarakat.

Situasi ini menunjukkan bahwa transisi energi kita tidak dimulai dari akar persoalan, yakni lemahnya infrastruktur distribusi, pengawasan stok, dan akses energi murah bagi masyarakat desa. Kebijakan etanol, bila tidak diiringi dengan perencanaan logistik yang merata, justru akan memperlebar jurang antara pusat produksi energi (Jawa) dan wilayah konsumsi (luar Jawa).

Sebagai bangsa agraris, Indonesia sebenarnya punya potensi besar mengembangkan bioetanol berbasis rakyat melalui koperasi energi desa, BUMDes energi, atau program agroindustri komunitas. Tetapi kebijakan pemerintah justru masih top-down, dipusatkan pada proyek besar dengan aktor korporasi dominan.

Kebijakan bioetanol E5/E10 ini belum memiliki kejelasan roadmap lintas sektor. Pembangunan industri bioetanol seharusnya terhubung langsung dengan sektor pertanian, riset energi, dan tata niaga bahan baku. Tanpa integrasi itu, kebijakan ini hanya menjadi *showcase* politik energi yang tidak menyentuh realitas ekonomi rakyat.

Transisi energi harus ditempatkan sebagai gerakan moral dan sosial, bukan semata proyek ekonomi. Dalam terang Ajaran Sosial Gereja, energi adalah bentuk partisipasi manusia dalam merawat ciptaan dan oleh karena itu, harus dikelola secara etis, adil, dan berkelanjutan. Artinya, kebijakan etanol mesti memastikan keberpihakan pada petani, perlindungan lingkungan, dan pemerataan manfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun