M
Ada satu pemandangan khas di kampung-kampung Minangkabau: rumah gadang berdiri gagah, tapi di dalamnya sering hanya ada ibu, adik, atau nenek. Para lelaki mudanya? Banyak yang jauh di rantau. Entah di Jakarta, Pekanbaru, bahkan sampai Kuala Lumpur. Bagi orang Minang, meninggalkan kampung bukan tanda melupakan asal, justru cara untuk menjaga marwah dan harga diri.
Mereka menyebutnya "merantau" sebuah perjalanan yang bukan sekadar pindah alamat, tapi pindah hidup.
Akar Filosofi: Alam Takambang Jadi Guru
Merantau bagi orang Minang bukan ide yang lahir kemarin sore. Sejak berabad-abad lalu, masyarakat Minangkabau hidup di tanah yang subur tapi terbatas lahannya. Lelaki Minang, yang dalam adat tidak mewarisi tanah pusaka (karena diwariskan lewat garis ibu), perlu mencari penghidupan di luar kampung.
Filosofi adat mereka, "Alam takambang jadi guru", menegaskan bahwa dunia luar adalah sekolah terbesar. Di rantau, orang Minang belajar bertahan, bersaing, dan beradaptasi---lalu pulang membawa ilmu, rezeki, dan nama baik.
Dalam tambo (sejarah lisan Minang), merantau sering digambarkan sebagai ujian kedewasaan. Seorang pemuda yang belum pernah merantau dianggap belum "lengkap" hidupnya.
Langkah Pertama: Pergi dengan Nama, Pulang dengan Cerita
Kisahnya dimulai dengan perpisahan yang selalu mengharukan. Seorang ibu akan menyiapkan bekal---bukan hanya uang, tapi doa dan petuah. Ayah atau mamak (paman dari pihak ibu) akan memberi nasihat terakhir:
 "Ingat, anak kamanakan, ke mana pun kau pergi, jangan lupa daratan."
Di rantau, mereka memulai dari bawah. Ada yang berjualan nasi Padang di emperan kecil, ada yang jadi pedagang kain, ada pula yang masuk ke dunia pendidikan atau pemerintahan. Kerja keras bukan pilihan, tapi kewajiban. Orang Minang percaya, "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri.