Tanah Ulayat Toba dan Luka Bernama TPL
Konflik antara PT Toba Pulp Lestari (TPL) dengan masyarakat adat Batak di kawasan Danau Toba merupakan luka lama yang belum sembuh hingga kini. Sejak perusahaan pulp ini berdiri dan mulai beroperasi pada tahun 1988, gelombang penolakan dari masyarakat adat terus bergulir. Tiga dasawarsa berlalu, persoalan yang sama masih membara, bahkan kini meluas menjadi gerakan moral lintas elemen - masyarakat sipil, aktivis lingkungan, akademisi, hingga lembaga keagamaan.
Isu "Tutup TPL" menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan ekologis dan sosial yang telah menjerat masyarakat di lingkar Danau Toba. Masalah ini bukan lagi sekadar sengketa ekonomi, melainkan menyangkut hak hidup, kehormatan, dan eksistensi budaya Batak sebagai penjaga tanah leluhur mereka.
Gelombang Penolakan dari Gereja dan Masyarakat Sipil
Pada 2025, penolakan terhadap TPL mencapai puncak baru ketika Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) - organisasi keagamaan Protestan terbesar di Indonesia dengan 6,5 juta jemaat - secara terbuka menyatakan kegelisahannya. Pimpinan tertinggi HKBP, Ephorus Pdt Dr. Victor Tinambunan, M.S.T, dalam berbagai kesempatan menegaskan operasi TPL telah memicu kerusakan lingkungan, konflik agraria, serta kriminalisasi masyarakat adat di sekitar Danau Toba.
Nada serupa juga disampaikan Lembaga Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Kapusin Medan dari kalangan Katolik. Keduanya tidak sekadar menyoroti dampak eksploitasi TPL, tetapi juga turut mendampingi masyarakat korban kekerasan dan kriminalisasi yang terjadi akibat benturan dengan aparat maupun pihak perusahaan.
Fenomena ini penting dicatat. Sebab, jarang sekali lembaga keagamaan besar turun tangan secara langsung dalam isu konflik agraria. Artinya, masalah TPL sudah menyentuh ranah moral dan kemanusiaan. Ketika para pemimpin rohani ikut berbicara, itu berarti luka sosial yang ditimbulkan telah melampaui batas yang dapat ditoleransi.
Konflik yang Tak Pernah Usai
Data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan dalam lima tahun terakhir, bentrokan antara masyarakat adat dan pihak TPL sudah terjadi puluhan kali. Sepanjang tahun 2025 saja, terdapat dua bentrokan besar. Pertama, di Desa Nagasaribu, Kabupaten Tapanuli Utara, pada Januari hingga Pebruari. Kedua, di Desa Sihaporas, Kabupaten Simalungun, pada September. Kedua peristiwa itu menimbulkan banyak korban luka-luka, baik dari masyarakat maupun aparat.
Situasi ini menjadi potret klasik dari konflik agraria struktural : masyarakat adat mempertahankan hak ulayatnya, sementara perusahaan datang dengan dukungan kekuasaan administratif dan aparat keamanan. Pertanyaan yang terus bergema: mengapa konflik yang sudah berlangsung lebih dari tiga dekade tidak pernah terselesaikan? Siapa yang melindungi perusahaan ini? Mengapa negara tampak membisu?