Prasasti, Yerusalem dan Narasi Kekuasaan
"Siapa yang mengendalikan masa lalu, dialah yang mengendalikan masa depan." Kutipan klasik George Orwell dalam novel 1984 kembali terbukti ketika Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoan berselisih soal Prasasti Siloam, catatan kuno berusia 2.800 tahun yang kini tersimpan di Museum Arkeologi Istanbul.
Di balik sebuah prasasti batu, terbentang perebutan simbolik atas Yerusalem : kota suci tiga agama dunia, yang sejarahnya diperdebatkan tak kalah sengit dibanding perebutan wilayahnya. Bagi Israel, prasasti itu adalah bukti arkeologis paling tua atas kehadiran orang Yahudi di Yerusalem. Bagi Turki, yang pernah menguasai Yerusalem selama empat abad di bawah Kesultanan Utsmaniyah, artefak itu adalah warisan sejarah yang sah.
Perdebatan ini tidak hanya berhenti pada urusan museum. Ia menyentuh inti dari pertarungan klaim kedaulatan, narasi keagamaan, dan politik global yang membentuk wajah Timur Tengah hari ini.
Siloam : Batu Kuno yang Jadi Simbol Modern
Prasasti Siloam ditemukan pada 1880 di Terowongan Hizkia, jalur air kuno yang digali pada abad ke-8 SM untuk memasok air ke Kota Daud. Ditulis dalam bahasa Ibrani kuno, prasasti itu menceritakan proses pembangunan terowongan tersebut. Secara akademis, prasasti ini penting karena : Ia menjadi salah satu teks tertua dalam bahasa Ibrani; Ia memperkuat narasi Alkitab tentang Raja Hizkia dan pembangunan saluran air menuju Kota Daud; Ia menunjukkan bukti fisik bahwa komunitas Yahudi telah beraktivitas di Yerusalem ribuan tahun lalu.
Namun, karena Yerusalem pada abad ke-19 berada di bawah kekuasaan Ottoman, prasasti itu dibawa ke Istanbul pada 1883 dan sejak itu disimpan di sana. Sejak lama Israel berulang kali meminta pengembaliannya, namun selalu ditolak. Erdogan bahkan menegaskan Turki tidak akan pernah menyerahkannya.
Israel, Turki, dan Perebutan Narasi
Bagi Israel, prasasti ini adalah lebih dari sekadar batu bertulis. Ia menjadi simbol legitimasi sejarah. Netanyahu berkali-kali menekankan Yerusalem adalah kota Yahudi sejak 2.700 tahun lalu, dan karena itu tidak bisa dibagi dengan siapa pun. Klaim ini sekaligus menolak gagasan two-state solution yang kerap didorong oleh Turki maupun dunia internasional.
Sebaliknya, Erdogan memposisikan Turki sebagai "penjaga sejarah Islam" di Yerusalem. Ia mengingatkan Kesultanan Utsmaniyah pernah memerintah kota itu dengan toleransi selama empat abad. Dengan menguasai prasasti, Turki merasa memiliki peran moral dan historis dalam menentukan masa depan Yerusalem.