Namun yang jadi tanda tanya besar adalah titik berikutnya : kemana Haminjon dari tanah Batak itu dikirim.
Selama ini, para pelaku lokal hanya tahu bahwa tempat transit utama untuk ekspor adalah Gombong, dekat Cilacap, Jawa Tengah. Tapi dari Gombong ke mana. Apakah langsung diekspor oleh pihak ketiga yang memiliki izin. Apakah dikirim ke pabrik asing di Singapura, India, atau Eropa. Tidak ada catatan jelas, baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Bahkan, masyarakat setempat tidak tahu siapa yang menjadi eksportir utama, berapa ton dikirim tiap bulan, dan berapa nilai jualnya di pasar internasional.
Semua ini berlangsung dalam kabut misteri - seperti aroma kemenyan itu sendiri.
Hilirisasi yang Tak Kunjung Tiba
Dalam konteks hilirisasi, semestinya kita tak lagi bicara tentang sekadar ekspor resin mentah. Idealnya, ekosistem industri kemenyan dibangun dari hulu hingga hilir. Misalnya, pusat penyadapan dan pengumpulan tetap dilakukan di wilayah-wilayah penghasil seperti Tapanuli. Namun, pusat pemurnian bisa dibangun di kota-kota menengah seperti Balige, Tarutung, atau Siantar. Selanjutnya, pusat produksi parfum - dengan teknologi ekstraksi molekul aromatik dan blending - bisa dikembangkan di kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Malang yang memiliki SDM siap pakai.
Sayangnya, hingga kini belum ada satu pun visi pembangunan terintegrasi seperti itu yang benar-benar diimplementasikan. Bahkan di Sumatera Utara sendiri, nama besar Haminjon kalah gaung dibanding isu sawit, pulp, atau pariwisata Danau Toba.
Yang lebih menyedihkan, hutan-hutan tempat tumbuhnya pohon kemenyan justru banyak yang dialihfungsikan oleh perusahaan besar seperti Toba Pulp Lestari (TPL). Alih-alih dijadikan hutan produksi kemenyan, tanah ulayat suku Batak diubah menjadi perkebunan eucalyptus untuk bahan pulp dan kertas. Konflik agraria pun muncul antara masyarakat adat dengan korporasi, mengakibatkan tidak hanya hilangnya ekosistem kemenyan, tapi juga kearifan lokal dalam mengelola hutan secara lestari.
Ketika Negara Absen
Misteri Haminjon ini pada dasarnya merupakan representasi dari masalah yang lebih besar : absennya negara dalam rantai pasok komoditas bernilai tinggi. Pemerintah seringkali terlambat mengetahui bahwa kemenyan yang dibakar di kuil-kuil Kyoto, atau yang menjadi aroma dasar parfum Hermes, berasal dari hutan-hutan di Sumatera. Tak ada sistem pencatatan ekspor yang transparan, tak ada BUMN atau koperasi modern yang bergerak di sektor ini, dan bahkan tak ada roadmap riset yang jelas mengenai pengembangan turunan benzoin.
Hilirisasi, yang menjadi kata kunci pemerintahan pasca-Jokowi, kerap diidentikkan dengan nikel, smelter, atau pabrik baterai. Tapi bagaimana dengan komoditas non-logam bernilai tinggi seperti kemenyan. Bagaimana dengan potensi green industry berbasis wewangian dan tanaman aromatik, yang justru ramah lingkungan dan menyerap banyak tenaga kerja perempuan dan muda.
Seharusnya, Haminjon bisa menjadi success story hilirisasi berbasis budaya dan kehutanan adat. Negara harus masuk sebagai fasilitator, bukan sekadar regulator. Mulai dari membangun data base pohon-pohon kemenyan, mendanai riset bioteknologi aroma, hingga mendirikan rumah produksi parfum dan kosmetik lokal dengan standar global.