Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Indonesia Kni dan Mendatang antara Delusi dan Realitas

27 Februari 2025   18:33 Diperbarui: 27 Februari 2025   18:33 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkait soal Indonesia akan meninggalkan Inggeris dan Jepang sekitar 2050, ini bisa dipahami sebagai ambisi untuk menjadikan Indonesia kekuatan ekonomi global.

Namun, faktor-faktor berikut akan sangat menentukan :

Struktur industri dan teknologi. Apakah Indonesia mampu menjadi pemain utama dalam industri teknologi tinggi dan manufaktur?

SDM dan inovasi. Generasi muda harus memiliki daya saing global, bukan sekadar tenaga kerja murah bagi industri asing.

Stabilitas kebijakan. Tidak ada negara yang bisa maju dengan kebijakan ekonomi yang berubah-ubah setiap periode kepemimpinan.

Indonesia Emas 2045 bukan sekadar slogan, tetapi membutuhkan kepemimpinan yang mampu menjalankan strategi industrialisasi modern, mendorong produktivitas, dan menjamin keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat.

Netralitas Geopolitik dan Demokrasi yang Mandek

Dalam konteks global, Prabowo mengusung kebijakan luar negeri yang tetap menjaga non-blok, berhubungan dengan semua negara. Ini sejalan dengan prinsip konstitusi, tetapi ada tantangan besar.

Tekanan dari AS dan China. Indonesia harus memainkan peran cerdas agar tidak menjadi korban perang dagang atau konflik Laut China Selatan.

Diplomasi ekonomi. Apakah Indonesia bisa memanfaatkan hubungan dengan semua negara untuk menarik investasi berkualitas tanpa bergantung pada utang luar negeri yang berisiko?

Di dalam negeri, politik masih diwarnai demokrasi gontok-gontokan dan sandera-menyandera. Ini ironis, karena setelah lebih dari dua dekade reformasi, seharusnya demokrasi kita lebih matang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun