Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mewaspadai Political Decay

4 Desember 2024   18:46 Diperbarui: 4 Desember 2024   19:51 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Effendi Simbolon bersama Hasto dan Watubun. (Sumber : nasional.kompas.com).

Mewaspadai Political Decay

Bukan PDIP namanya kalau tidak bikin heboh. Kali ini pemecatan Effendi Simbolon salah satu kader terbaik PDIP.

Dalam surat pemberhentian Effendi, PDI-P memberikan sanksi pemecatan karena kadernya itu melanggar instruksi DPP partai terkait Pilkada Jakarta 2024. Diketahui, PDI-P mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta Pramono Anung-Rano Karno. Namun, Effendi justru mendukung kandidat dari partai lain yang menjadi lawan dari Pramono-Rano.

Bahwa sesungguhnya sikap, tindakan dan perbuatan Sdr. Effendi Muara Sakti Simbolon ... adalah pembangkangan terhadap ketentuan keputusan dan garis kebijakan partai, yang merupakan pelanggaran kode etik dan disiplin Partai, dikategorikan sebagai pelanggaran berat, demikian surat pemecatan tersebut. Atas dasar itu, PDI-P memutuskan untuk memecat Effendi terhitung sejak surat diterbitkan pada 28 Nopember 2024. Surat pemecatan itu ditandatangani oleh Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Sekjen Hasto Kristiyanto. PDI-P juga secara tegas melarang Effendi untuk melakukan kegiatan ataupun menduduki jabatan yang mengatasnamakan partai.

Pemecatan Effendi Simbolon dari PDI-P karena pertemuannya dengan Presiden Jokowi dan dukungannya kepada pasangan calon di luar rekomendasi partai pada Pilkada Jakarta 2024 mencerminkan penegakan disiplin internal yang sangat ketat.

Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk memahami dasar dan implikasi dari keputusan tersebut.

Penegakan disiplin partai

Pemecatan Effendi didasarkan pada pelanggaran kode etik, disiplin, dan AD/ART partai. Partai politik memiliki aturan internal yang dirancang untuk memastikan kepatuhan kader terhadap garis kebijakan yang telah ditetapkan oleh pimpinan. Dalam kasus ini, Effendi dianggap telah melanggar dengan mendukung pasangan calon dari partai lain, yang bertentangan dengan keputusan resmi PDI-P; bertemu dengan Presiden Jokowi tanpa sepengetahuan atau persetujuan partai, yang dianggap sebagai bentuk "kongkalikong politik."

Spesifikasi tindakan : mengapa Jokowi berbeda

PDI-P memandang pertemuan Effendi dengan Jokowi sebagai tindakan yang lebih serius dibandingkan jika ia bertemu tokoh politik lainnya. Hal ini kemungkinan besar karena hubungan Jokowi dengan PDI-P sedang berada dalam dinamika yang rumit.

Jokowi, meskipun berasal dari PDI-P, seringkali mengambil langkah politik yang tidak selalu selaras dengan kepentingan partai, terutama menjelang akhir masa jabatannya.

Dalam konteks ini, pertemuan Effendi dengan Jokowi mungkin dianggap sebagai ancaman terhadap otoritas partai, karena membuka kemungkinan pengaruh di luar struktur resmi PDI-P.

Universalitas atau kekhususan aturan

Kekhususan. Aturan seperti ini tidak berlaku universal. Partai politik memiliki otonomi dalam menetapkan mekanisme disiplin internalnya. Apa yang diterapkan PDI-P belum tentu berlaku di partai lain. Misalnya, beberapa partai mungkin lebih toleran terhadap perbedaan pendapat internal.

Universalitas. Pada tingkat umum, hampir semua partai politik memiliki prinsip dasar untuk menjaga kesetiaan kader terhadap kebijakan resmi partai, terutama pada isu-isu strategis seperti pemilu.

Implikasi pada demokrasi internal

Keputusan ini menyoroti gaya kepemimpinan PDI-P yang sangat sentralistik, dengan dominasi Ketua Umum dalam menentukan arah partai.

Meskipun disiplin partai penting untuk menjaga konsistensi, langkah seperti ini dapat memunculkan kritik bahwa partai kurang memberikan ruang untuk perbedaan pendapat atau diskusi yang sehat di dalam internal.

Respons Effendi Simbolon

Sikap Effendi yang memilih tidak memberikan pernyataan langsung kepada wartawan yang memburunya, tetapi mengirim gambar Paus Fransiskus dalam pesan WhatsApp bisa dimaknai sebagai bentuk protes simbolis atau ekspresi ketenangan dalam menghadapi situasi. Namun, ini juga menunjukkan ketegangan dalam hubungan antara kader dan partai yang telah memutuskan untuk memecatnya.

Pemecatan Effendi Simbolon mencerminkan dinamika internal PDI-P yang kompleks, di mana hubungan antara partai, kader, dan tokoh eksternal seperti Presiden Jokowi memainkan peran besar. Ini adalah contoh bagaimana aturan internal partai diterapkan secara selektif sesuai dengan konteks politik dan aktor yang terlibat.

Sementara penegakan disiplin penting untuk menjaga stabilitas partai, langkah ini juga dapat memunculkan persepsi bahwa PDI-P terlalu kaku dalam mengelola perbedaan pandangan, yang pada gilirannya dapat memengaruhi citra partai di mata publik.

Fenomena kader terbaik mundur

Sudah banyak kader PDIP yang mundur karena sikon internal PDIP yang tidak memungkinkan karier politik mereka berkembang, dan Effendi adalah salah satu contoh menyusul sejak keluarnya Budiman Sujatmiko, Maruarar Sirait dll.

Masalahnya apakah ini semacam political decay di dalam tubuh PDIP atau bagaimana.

Fenomena mundurnya sejumlah kader senior PDI-P, seperti Budiman Sudjatmiko, Maruarar Sirait, dan kini Effendi Simbolon, dapat mencerminkan tanda-tanda "political decay" dalam konteks tertentu. Namun, hal ini juga bisa dilihat sebagai bagian dari dinamika alami dalam organisasi politik besar.

Indikasi political decay

Political decay dalam partai politik biasanya mengacu pada erosi mekanisme internal yang sehat, seperti inklusivitas, keterbukaan, dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan.

Dalam konteks PDI-P, tanda-tanda yang mengarah ke political decay meliputi :

1. Sentralisasi kekuasaan yang berlebihan

Dominasi Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dalam pengambilan keputusan telah lama menjadi sorotan. Model kepemimpinan yang terlalu sentralistik dapat menghambat kader lain untuk berkembang, terutama yang memiliki pandangan berbeda atau ambisi politik yang besar. Ini terlihat dari keluhan kader yang merasa bahwa peluang mereka dibatasi oleh struktur hierarkis partai yang kaku.

2. Minimnya ruang untuk perbedaan pendapat

Pemecatan dan konflik internal seringkali disebabkan oleh ketidaksesuaian sikap kader dengan garis kebijakan partai. Ketidakmampuan untuk mengakomodasi pandangan alternatif dapat melemahkan vitalitas partai dalam jangka panjang.

3. Eksodus kader berkualitas

Mundurnya figur-figur seperti Budiman Sudjatmiko, Maruarar Sirait, dan Effendi Simbolon menunjukkan adanya ketidakpuasan di tingkat elite partai. Kehilangan kader yang punya pengalaman dan jaringan luas bisa melemahkan kapasitas institusional partai.

Namun, apakah Ini political decay sepenuhnya. Di sisi lain, tidak semua dinamika ini dapat langsung dikategorikan sebagai political decay.

Ada beberapa penjelasan alternatif :

1. Dinamika alamiah partai besar

Dalam partai politik besar seperti PDI-P, perbedaan kepentingan dan konflik internal adalah hal yang wajar. Pergantian atau keluarnya kader yang merasa tidak lagi cocok dengan arah partai merupakan bagian dari seleksi alami.

Partai mungkin memandang tindakan disiplin sebagai cara untuk menjaga stabilitas dan kohesi internal di tengah persaingan politik yang semakin ketat.

2. Adaptasi strategis partai

Dalam beberapa kasus, tindakan keras terhadap kader yang dianggap "menyimpang" adalah upaya partai untuk menunjukkan ketegasan kepada publik bahwa mereka masih konsisten dengan garis ideologi dan kebijakan.

3. Dampak terhadap masa depan PDI-P

Eksodus kader senior dapat menciptakan persepsi bahwa PDI-P sulit mengelola perbedaan pendapat, yang mungkin tidak disukai oleh pemilih progresif atau kalangan muda.

Di sisi lain, pendukung loyal PDI-P melihat ini sebagai bukti bahwa partai tetap solid dan disiplin.

4. Regenerasi:

Kehilangan figur senior bisa menjadi peluang bagi generasi baru untuk muncul. Namun, jika regenerasi ini tidak diiringi dengan keterbukaan terhadap inovasi dan perubahan, partai bisa kehilangan daya saingnya.

Jika ketidakpuasan meluas, ada risiko kader yang keluar akan membentuk aliansi atau partai baru, yang bisa menjadi ancaman bagi kekuatan PDI-P dalam jangka panjang.

Fenomena ini bisa dianggap sebagai gejala awal political decay, terutama jika PDI-P terus kehilangan kader berkualitas tanpa memperbaiki mekanisme internalnya.

Namun, ini juga bisa dilihat sebagai fase transisi dalam evolusi partai. Jika PDI-P mampu merespons dinamika ini dengan memperkuat demokrasi internal, memperluas ruang untuk diskusi, dan memastikan regenerasi yang inklusif, mereka masih dapat mempertahankan relevansi politiknya.

At the end, masa depan PDI-P akan sangat ditentukan oleh sejauh mana partai mampu menyeimbangkan antara menjaga disiplin internal dan mengakomodasi perubahan yang dibutuhkan untuk tetap kompetitif di lanskap politik yang dinamis.

Lihat :

https://nasional.kompas.com/read/2024/12/02/04592331/hasto-pdi-p-effendi-simbolon-tak-dipecat-jika-bertemu-prabowo-bukan-jokowi?page=all#

Joyogrand, Malang, Wed', Dec' 0r4, 2024.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun