Mohon tunggu...
parida tunnur
parida tunnur Mohon Tunggu... Lainnya - Cahaya Lembut

putri dari bapak H. Nurdin dan Ibu Zahirah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan dan Pengerakan Nasional

11 April 2020   23:33 Diperbarui: 11 April 2020   23:52 1284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Adakah pengaruh pendidikan dalam menumbuhkan kesadaran nasionalisme? Sebuah tesis yang membutuhkan jawaban cukup rumit karena latar belakang pendidikan di Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah kolonialisme. Di balik sistem kolonialisme telah membonceng sistem ekonomi kapitalis yang bertujuan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia sehingga Belanda mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Politik Etis (Ethische Politiek), khususnya di bidang pendidikan, adalah kebijakan kolonial yang bertujuan untuk melestarikan kekuasaan dan kultur kolonial di bumi jajahan. Sedangkan sistem kapitalis meraih keuntungan besar lewat kebijakan politik etis karena berhasil mendapatkan sumber daya manusia terdidik dan terlatih dengan harga murah. Di luar narasi sejarah kolonialisme dan kepentingan kapitalisme, politik etis justru menjadi titik awal dari kebangkitan kaum pribumi. Lahirnya para elite terdidik dari kalangan pribumi telah menumbuhkan “kesadaran baru” dalam kehidupan berbangsa. Kesadaran baru dalam kehidupan berbangsa mengantarkan para elite terdidik untuk menyusun kekuatan dengan pendekatan baru, yaitu pergerakan nasional menggunakan wadah organisasi. Para pendiri organisasi-organisasi pergerakan nasional memiliki ternyata latar belakang Pendidikan modern.

Tulisan ini mengangkat topik “pendidikan dan pergerakan nasinal” dalam rangka membangun kesadaran nasionalisme berbangsa lewat peran organisasi-organisasi yang pernah berdiri di Yogyakarta dalam rentang tahun 1908-1922. Kajian ini difokuskan pada organisasi Budi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), dan Taman Siswa (1922).

Lahirnya Elite Terdidik Bumiputra

Awal mula proses perubahan sosial, budaya, dan politik di tanah air pada awal abad 20 ketika rezim kolonial mencanangkan kebijakan Politik Etis (1901) yang meliputi tiga bidang: pengairan, transmigrasi, dan pendidikan (M.C. Ricklefs, 2005: 320). Dalam bidang pendidikan, kebijakan Politik Etis dipandang sebagai upaya mendidik kaum bumiputra untuk meningkatkan kemakmuran di tanah jajahan. Robert van Niel dalam buku Munculnya Elite Modern Indonesia (2009: 102) menulis, “Mendidik massa besar bangsa Indonesia adalah juga bagian yang pokok dari politik etis kolonial dengan pemberantasan buta huruf dan menaikkan kemakmuran sebagai tujuan utama.”

Barangkali van Niel benar, di antara tujuan Politik Etis adalah upaya mendidik bangsa Indonesia lewat pemberantasan buta huruf untuk tujuan kemakmuran kaum bumiputra. Akan tetapi, analisis tersebut datang dari seorang sejarawan yang secara individual memiliki ikatan ideologis-historis dengan politik kolonialisme Belanda. Narasi yang ia hadirkan jelas mengisyaratkan bahwa di balik kolonialisme Belanda terdapat political will untuk memajukan kaum bumiputra. Dengan demikian, kaum bumiputra pun harus merasa berutang budi kepada bangsa Belanda, sekalipun mereka telah menindas dan mengeksploitasi bangsa dan hasil bumi selama tiga setengah abad lamanya. Argumentasi semacam ini jelas sulit diterima oleh nalar sehat kaum bumiputra yang telah kenyang menghadapi penindasan dan eksploitasi kaum kolonial.

Latar belakang munculnya kebijakan Politik Etis berawal dari situasi politik di parlemen Kerajaan Belanda yang dikuasai oleh kubu sosialis. Kemenangan Partai Liberal yang berhaluan sosialis di bawah pimpinan van Kol telah mengubah paradigma baru sikap kolonialisme Belanda terhadap tanah jajahan, terutama di Hindia-Belanda. Dalam pidato kenegaraan tahun 1901, Ratu Wilhelmina telah memerintahkan kepada pemerintah kolonial Belanda lewat Menteri Urusan Jajahan supaya mengadakan penyelidikan tentang kesejahteraan masyarakat bumiputra, terutama di tanah Jawa, sebagai dasar pengambilan kebijakan tersebut. Berperan sebagai implementor kebijakan adalah Menteri Urusan Jajahan yang dijalankan oleh Inspektur Pendidikan Bumiputra (1902) di bawah pengawasan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ricklefs dalam bukunya, Sejarah Indonesia Modern (2005: 320) mencatat, dalam rangka menjalankan kebijakan Politik Etis, pemerintah kolonial Belanda telah menganggarkan sekitar 40 juta gulden.

Ada yang unik pada waktu itu karena posisi Menteri Urusan Jajahan tengah kosong pasca wafat T.J.A. van Asch van Wijk, sehingga diisi oleh A.W.F. Idenburg yang juga menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Van Niel, 2009: 55-56). Idenburg adalah politikus dari Partai Kristen yang bersebarangan haluan dengan kaum sosialis di bawah pimpinan Van Kol. Pada level elite, kebijakan Politik Etis mengalami tarik ulur kepentingan. Pada level praktis, proses implementasi kebijakan ini juga terpecah dalam beberapa friksi dan kepentingan.

Van Deventer—dikenal sebagai “Bapak Politik Etis”—G.P. Rauffaer, E.B. Kielstra, dan Dirk Fock adalah tokoh-tokoh Sosialis yang menghendaki pendekatan populis dalam penerapan Politik Etis. Sebaliknya, C. Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon adalah tokoh-tokoh dari Partai Kristen yang menghendaki pendekatan elite dalam penerapan Politik Etis. Ketika Dirk Fock menjabat sebagai Menteri Urusan Jajahan (1905-1908), kebijakan Politik Etis di bidang pendidikan lebih mengutamakan penyelenggaraan sekolah-sekolah teknik dan kejuruan. Hurgronje dan Abendanon justru berseberangan dengan Fock. Keduanya lebih memilih untuk mendekati kaum elite, yaitu anak-anak kaum bangsawan Jawa (priyayi), untuk masuk di sekolah-sekolah kolonial yang bersifat profesional dan mengusahakan beasiswa untuk studi di negara Belanda (Van Niel, 2009: 59-60).

Menurut sejarawan Riklefs (2005: 336), sesungguhnya pemerintah kolonial Belanda memiliki motif-motif politik dan ekonomi di balik penyelenggaraan kebijakan Politik Etis. Situasi politik pada waktu itu memang mengharuskan pemerintah kolonial Belanda mengambil kebijakan strategis, khususnya di bidang pendidikan, pengairan, dan transmigrasi. Van Niel pun tidak dapat menyangkal lagi motif ekonomi di balik kebijakan Politik Etis. Pemerintah kolonial melihat Indonesia sebagai pasar potensial yang perlu ditingkatkan standar hidup warganya. Kebutuhan eksploitasi sumber daya alam mentah membutuhkan tenaga-tenaga cakap dan terampil tetapi dengan gaji yang murah. Dalam hal ini, kebijakan Politik Etis di bidang pendidikan memiliki motif ekonomi dan sekaligus politik. Dengan meningkatkan standar hidup warga bumiputra, pemerintah kolonial Belanda berharap kepada anak-anak bumiputra terpelajar agar tahu berterima kasih dan menunjukkan loyalitas kepada mereka (Riklefs, 2005: 337).

Dalam proses implementasinya, penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda memang tidak bisa berjalan secara adil dan merata. Pada kenyataannya, kebijakan ini hanya diperuntukkan bagi kalangan warga Belanda, kelas bangsawan, dan kaum priyayi. Sekalipun kelas bangsawan dapat dikategorikan sebagai kaum priyayi, tetapi mereka berbeda karena berada pada posisi elite. Banyak pula anak-anak dari kaum “priyayi rendahan” dapat mengakses pendidikan kolonial. Justru dari kelas priyayi rendahan inilah nantinya banyak melahirkan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Adapun warga bumiputra dari kelas menengah ke bawah hanya sedikit yang bisa mengakses pendidikan kolonial, termasuk kesempatan belajar ke negeri Belanda. Akan tetapi, para elite terpelajar bumiputra dari kalangan priyayi rendahan dan kelas menengah ke bawah inilah yang nantinya melahirkan kaum intelektual yang mengubah sejarah bangsa. Mereka kemudian sadar dan bangkit melawan penjajahan yang membawa ketidakadilan di tanah air. Para student bumiputra yang menempuh studi di negeri Belanda pun tergugah rasa nasionalisme mereka. Di negeri Belanda, mereka membentuk perhimpunan (vereeniging) yang bertujuan untuk memupuk kesadaran nasionalisme.

Seiring perubahan zaman, kebijakan Politik Etis justru menjadi bumerang bagi kepentingan kolonial Belanda. Kebijakan tersebut ternyata hanya sedikit melahirkan kaum intelektual bumiputra yang loyalis kepada kolonial Belanda. Sekelompok elite terpelajar dari kalangan priyayi rendahan merasa tergugah untuk membela kaum bumiputra yang selama berabad-abad telah dijajah oleh kolonial Belanda. Kelahiran kaum terpelajar bumiputra inilah yang pada akhirnya nanti melahirkan semangat kebangsaan baru. Mereka mulai memikiran masa depan bangsa yang sudah sekian abad lamanya dijajah oleh bangsa asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun