Dari Singapura, Ketum Demokrat SBY mengirimkan surat kepada jajaran elit Demokrat di Jakarta. Soal surat itu, sudah beredar luas di kalangan masyarakat, juga sudah ditanggapi kubu Prabowo maupun kubu Jokowi. Namun bila disimpulkan, inti surat SBY adalah ketidaksukaannya terhadap model kampanye akbar capres Prabowo-Sandi yang digelar pada Minggu, 7 April 2019 di GBK, Jakarta.
Banyak pihak kemudian bertanya-tanya: kenapa SBY harus 'mengusik' Prabowo padahal Demokrat sendiri merupakan salah satu parpol pendukung capres 02? Terlepas dari kekurangan tampilan fisik kampanye akbar itu, SBY bukannya mendukung tetapi terkesan malah memojokkan Prabowo. Atau kalau memang kurang sreg, SBY paling tidak diam saja, tidak perlu berkomentar.
Namun bila dicermati dari rekam jejak politik ala SBY, surat dari Singapura itu sejatinya mengandung pesan politik yang cukup dahsyat, bukan sekadar imbauan agar kampanye akbar dilakukan inklusif, mencerminkan kebhinnekaan, serta merajut rasa persatuan seluruh anak bangsa. Lalu apa pesan yang ingin disampaikan SBY?
Sebelumnya, mari kita lihat kenapa SBY memilih tidak hadir dalam kampanye akbar tersebut. Padahal jauh-jauh hari, SBY telah berjanji turun langsung mengkampanyekan Prabowo, yakni pada masa menjelang kampanye akan usai. Istilah kerennya, "jagoan selalu datang belakangan". Namun ternyata SBY tak melakukan itu. Barangkali, jatuh sakitnya Ibu Ani Yudhoyono hingga harus dirawat intensif di sebuah rumah sakit di Singapura masih bisa dimaklumi sebagai alasan absennya SBY.
Tetapi bagaimana dengan sang putera mahkota AHY? Kenapa Komandan Kogasma Demokrat tersebut juga tidak mendampingi Prabowo sebagai representasi SBY? Menurut kabar, AHY juga sedang tidak fit hingga batal tampil sebagai salah satu juru kampanye. Alhasil, representasi kehadiran Demokrat hanya diwakilkan kepada Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan dan sejumlah elit Demokrat lainnya. Pertanyaannya, betulkah AHY sedang tidak fit atau memang karena dilarang SBY?
Pada titik inilah pesan SBY mulai terbaca jelas. Sangat mirip dengan akrobat politik SBY pada Pemilu 2014 yang mempertemukan Jokowi dan Prabowo untuk pertama kalinya.
Semua pasti ingat, Demokrat saat itu memilih netral kendati Hatta Rajasa yang tak lain merupakan besan dari SBY merupakan cawapres Prabowo. Lalu semua juga tahu bahwa Pemilu 2014 akhirnya menghempaskan impian Prabowo dan harus rela menerima kenyataan kalah tipis dari Jokowi. Bayangkan, kalau saat itu SBY terjun total mendukung Prabowo-Hatta, hasilnya sangat mungkin berbeda.
Kini, catur politik SBY pada Pemilu 2014 itu seolah terulang kembali. Bahkan sebetulnya, gelagat itu sudah terlihat pada awal pencapresan, saat tarik-menarik cawapres pendamping Prabowo akhirnya jatuh ke Sandiaga Uno. Demokrat bahkan terang-terangan mengakui bahwa Pemilihan Legislatif jauh lebih penting ketimbang Pemilihan Presiden. Kemudian pada akhir kampanye kali ini, SBY justru tampil "menyerang" Prabowo.
Berkaca pada pengalaman 2014, tampaknya intuisi politik SBY sudah berada di titik akhir. Yakni pada kesimpulan bahwa pemenang Pemilu 2019 akan kembali direbut Jokowi. Sehingga langkah selanjutnya yang perlu dilakukan SBY adalah menjaga hubungan baik dengan calon pemenang. Salah satunya dengan terang-terangan mengkritik set up kampanye akbar Prabowo. Di saat bersamaan, akrobat politik SBY itu berubah menjadi mimpi buruk bagi Prabowo.
Lantas apa untungnya bagi SBY mempunyai hubungan baik dengan calon pemenang Jokowi? Tentu ada, yakni dalam rangka persiapan Pemilu 2024, ketika Jokowi secara konstitusi tak lagi berhak mencalonkan diri untuk ketiga kalinya. Lalu siapa penerusnya? Salah satunya adalah AHY, yang memang sudah dipersiapkan SBY sejak Pilgub 2017 lalu. Maka jangan kaget kalau Demokrat dan Jokowi menjalin hubungan harmonis dan erat pada periode kedua Jokowi nanti.
Kira-kira begitu makna di balik surat SBY menurut saya. Entah menurut Anda.