Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena "Bukan Batak" dan Pilgub Sumut 2018

24 November 2017   12:52 Diperbarui: 24 November 2017   13:01 3760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegembiraan Anak SD di Sumut (Pribadi)

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara (Pilgub Sumut) kurang dari setahun lagi. Sejumlah tokoh sudah bersiap untuk merebut posisi Sumut-1. Kantong-kantong basis massa sudah mulai terbentuk lengkap dengan tim suksesnya. Tentu tak mau kalah, gubernur petahana (incumbent) juga menginginkan hal serupa, memperpanjang masa kekuasaannya menjadi dua periode.

Di saat bersamaan, isu tentang asal muasal Batak kembali mengemuka. Momen pernikahan Kahiyang Ayu, puteri Presiden Jokowi dengan Bobby Nasution yang berdarah Mandailing, menjadi puncak kampanye guna menegaskan bahwa Mandailing Bukan Batak. Baca selengkapnya: DI SINI

Tak ketinggalan, Karo Bukan Batak juga mengikuti jejak Mandailing. Lihatlah, spanduk bertuliskan Karo Bukan Batak yang diinisiasi komunitas Karo di sejumlah titik strategis di Medan, telah meramaikan jagad media sosial dalam beberapa hari ini.

Simalungun pun begitu, walau belum terlalu terbuka mengkampanyekan Simalungun Bukan Batak. Masih sebatas komentar status di media sosial, tanpa melakukan semacam diskusi tentang sejarah tentang asal-usul nenek moyang mereka, sebagaimana dilakukan Mandailing dan Karo.

Namun begitu, mengutip pernyataan peneliti Pussis Universitas Negeri Medan (UNIMED), Dr. Erron Damanik, Mandailing telah menolak disebut Batak sejak 1922, disusul Karo sejak 1952, Simalungun sejak 1963, lalu Pakpak sejak 1964, juga Nias menolak disebut Batak sejak 1952. Hanya Toba dan Angkola yang tetap menerima disebut Batak. Selengkapnya, DI SINI

Tentu tidak ada yang salah dengan gerakan ramai-ramai meninggalkan Batak tersebut. Sebab menyatakan pendapat telah dijamin UU dan tak seorangpun yang berhak melarangnya. Semua pihak memiliki hak yang sama untuk menuntut sesuatu yang menurutnya tidak tepat.

Batak (Toba) juga sama sekali tidak merasa keberatan apabila harus "berpisah" dengan Mandailing, Karo, dan Simalungun. Apalagi, selama ini, hubungan sosial antara Toba dengan mereka tetap terjalin harmonis.

Akan tetapi, politik identitas menjelang Pilgub Sumut 2018, tentu saja perlu diwaspadai. Jangan sampai isu tersebut digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk memecah suara anak bangsa sekaligus meraup suara bagi calon tertentu.

Secara politik, seandainya Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, Pakpak, plus Nias bersatu, dipastikan menjadi modal yang lebih dari cukup untu meraup suara. Koalisi seluruh etnis tersebut sudah hampir menyamai jumlah etnis Jawa sebagai populasi terbanyak di Sumut.

Dengan kata lain, merangkul suara seluruh etnis Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, Pakpak, plus Nias hampir dipastikan telah memenangi  Pilgub Sumut dengan mudah. Sebaliknya, jika Toba dan rekan-rekan sudah tidak lagi bersatu, dipastikan juga calon gubernur yang beretnis salah satu dari mereka akan kesulitan mendulang suara.

Kendati begitu, saya tidak mengatakan bahwa keinginan Mandailing dan rekan-rekan untuk meninggalkan Batak, sudah diboncengi oleh pihak-pihak tertentu. Namun ada baiknya apabila keinginan itu disuarakan dengan hati-hati dan lebih bijaksana. Jangan sampai terjebak dalam permainan politik yang justru merugikan kita semua.

Kemesraan Kita Jangan Sampai Berlalu.

Horas, Mejuah-juah

Seorang Toba Beristri Karo

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun