Mereka tampil meyakinkan dan inspiratif. Tapi begitu boncos, semua diam. Tidak ada yang minta maaf. Saya cuma dianggap statistik kerugian.
Hari ini, siapa sih yang nggak kenal influencer investasi? Mereka muncul di TikTok, Instagram, bahkan YouTube. Dengan setelan jas, lighting estetik, dan kata-kata motivasi yang mengalir seperti seminar berbayar, mereka menawarkan cara cepat kaya lewat investasi. Buat anak muda seperti saya, tentu itu menggoda. Siapa yang nggak mau cuan dari HP, tanpa harus kerja kantoran dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore?
Awalnya saya skeptis. Tapi makin hari, kontennya makin sering muncul. FYP saya penuh dengan orang-orang yang pamer portofolio hijau, cuan 300%, bahkan live trading sambil ngopi. Saya mulai bertanya pada diri sendiri "Apa saya terlalu lambat?" atau "Apa saya yang kurang pintar karena belum mulai?" Akhirnya saya ikut-ikutan. Saya download aplikasi trading, masuk ke komunitas Telegram, dan mulai beli aset digital. Dari saham, pindah ke crypto, lalu nyemplung ke futures.
Semuanya terasa mudah di awal. Saya untung. Lalu rugi. Lalu rugi lagi. Tapi karena terus diyakinkan oleh influencer yang katanya ini hanya fase, saya bertahan. Saya deposit ulang. Saya beli langganan sinyal. Saya bahkan pinjam uang dari teman. Semua demi satu hal yaitu membuktikan bahwa saya juga bisa cuan seperti mereka.
Tapi kenyataannya jauh dari harapan. Uang hilang, mental goyah, dan kepercayaan diri anjlok. Ketika saya cari kembali konten-konten yang saya tonton waktu itu, semuanya sudah berganti. Tidak ada lagi topik soal loss. Tidak ada satu pun dari mereka yang bilang "Saya juga pernah rugi besar".
Padahal menurut data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC), lebih dari 75% trader ritel di futures kehilangan uang dalam jangka panjang. Di Indonesia, survei OJK menyebutkan bahwa sebagian besar investor muda mendapatkan edukasi keuangan dari media social bukan dari lembaga resmi. Dan literasi keuangan generasi muda masih di bawah 40%.
Bayangkan. Mayoritas orang belajar investasi dari TikTok, padahal algoritmanya hanya menampilkan konten yang ramai, bukan yang benar. Bukan salah influencer semata. Tapi sistem media sosial tidak memihak edukasi yang jujur. Akhirnya yang viral adalah orang-orang yang paling berisik, bukan yang paling paham.
Saya pernah menangis diam-diam karena merasa gagal. Teman saya sempat menjual barang pribadinya karena yakin sinyal yang ia beli dari influencer bisa menggandakan modal. Tapi hasilnya? Boncos. Dan influencer itu bahkan tidak membalas DM kami. Mereka pindah ke topik lain seperti NFT, token baru, atau promosi aplikasi yang berbeda.
Saya sadar, sebagian besar dari mereka bukan edukator, tapi marketer. Mereka hidup dari klik, viewers, komisi afiliasi, dan kerjasama promosi. Sementara kami? Kami yang menanggung resiko nyata, rugi nyata, tekanan mental yang nyata. Kami adalah statistik yang tidak pernah disebutkan.
Saya tidak ingin mengeneralisasi. Tentu ada influencer yang jujur, yang benar-benar mendidik dan memberi peringatan. Tapi bagaimana cara membedakannya? Kamera profesional bisa dibeli. Kata-kata bijak bisa disalin. Tapi track record? Transparansi rugi? Itu yang hampir tidak ada.