Mohon tunggu...
Prama Ditya
Prama Ditya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Masih Relevankah Pajak Deviden di Indonesia?

12 Januari 2018   05:46 Diperbarui: 12 Januari 2018   06:00 2457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Double taxation menjadi isu yang terus diperbincangkan baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, terkait dengan hubungan fairness dengan subjek dan objek pajak. Pembicaraan mengenai pemajakan berganda ini juga menghinggapi permasalahan mengenai pengenaan pajak terhadap income perusahaan dan deviden yang dibagi kepada para pemegang sahamnya.  Selain masalah besaran deviden yang diterima, pengenaan pajak pada deviden yang dibagi akan memicu penurunan minat penanaman investasi baik dari sumber domestik maupun luar negeri.

                Pandangan pengenaan pajak deviden bukan merupakan salah satu bentuk double taxation didasari pada pandangan bahwa orang pribadi (individu) dan badan (corporation) merupakan subjek pajak yang berbeda. Di Indonesia hal ini sesuai dengan UU nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 2 ayat 1 bahwa yang menjadi subjek pajak adalah Orang Pribadi, Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, Badan, dan Bentuk Usaha Tetap. Secara hukum perdata, korporasi merupakan entitas yang terpisah dari para pemegang saham, yang membatasi kewajiban pemegang saham.

                Pandangan lain menyatakan bahwa secara ekonomi, pengenaan pajak pada deviden dapat dikategorikan sebagai double taxation karena pengenaan pajak terhadap laba perusahaan secara matematis mengurangi jumlah deviden yang akan dibagikan. Kemudian, pajak juga dikenakan saat deviden dibagikan kepada pemegang saham sebagai pajak penghasilan. Pengenaan pajak dua kali pada penghasilan yang sama ini disebut dengan economic double taxation.

                Pada negara -- negara di dunia, terdapat beberapa sistem pengenaan pajak pada penghasilan berupa deviden. Benjamin Mahr (2004) menyatakan bahwa berdasarkan pandangan double taxation pada pajak deviden, sistem pengenaan pajak terhadap deviden ada 3 kelompok, yaitu sistem classical, reduction system dan avoiding system. Sebastian Lazar (2010) membagi jenis sistem pengenan pajak terhadap deviden menjadi dua, yaitu pengurangan double taxation pada pajak deviden dan pengurangan double taxation pada pajak penghasilan perusahaan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana penerapan pajak penghasilan berupa deviden ini di Indonesia? Apakah masih relevan diterapkan pada saat ini?

  • Classical dan Modified Classical System
  • Sistem Classical diterapkan berdasarkan pandangan bahwa shareholders dan perusahaan merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga deviden dikenakan tarif pajak penghasilan sesuai peraturan yang berlaku yang berlaku. Tarif pajak yang dikenakan pada tingkat perusahaan dan tingkat shareholder hampir sama. Beberapa negara yang menerapkan sistem ini adalah Romania, Switzerland dan Irlandia. Tarif pajak yang dikenakan di Romania sebesar 16%, hampir sama pada semua pajak penghasilan di negara itu.
  • Terdapat juga sistem modified classical, yaitu pengenaan PPh pada deviden dengan tarif yang lebih rendah dari tarif PPh yang dikenakan pada tingkat perusahaan. Beberapa yang menerapkan sistem ini adalah USA, Austria dan Indonesia

               Indonesia sampai dengan saat ini mengenakan pajak terhadap Income perusahaan dan deviden yang dibagikan (separate taxation). Pajak terhadap penghasilan perusahaan (badan) dikenakan dengan tarif sebesar flat 25%, sesuai dengan pasal 17 UU nomor 36 Tahun 2008. Bila deviden dibagikan kepada perusahaan lain, deviden tersebut diperlakukan sebagai penghasilan oleh perusahaan penerima, dan pada akhirnya dikenakan pajak penghasilan badan 15% Apabila deviden tersebut dibagi kepada pemegang saham berupa orang pribadi, dikenakan tarif pajak penghasilan (OP) sebesar 10 %. Pajak deviden OP tersebut bersifat final, yang berarti dipisahkan dari penghasilan yang lain. Dengan asumsi seluruh laba dibagikan sebagai deviden, maka ilustrasinya adalah sebagai berikut.

Ilustrasi (dalam jutaan) :

Tingkat Korporasi PT A

Tingkat Korporasi PT A

  • Laba Kena Pajak

1.000

  • Laba Kena Pajak

1.000

  • PPh Badan (25%)

   250

  • PPh Badan (25%)

250

  • Laba Setelah Pajak

750

  • Laba Setelah Pajak

750

Tingkat Shareholder (OP)

Tingkat Shareholder (Badan)

  • Laba Setelah Pajak

750

3. Laba Setelah Pajak

750

  • Pph OP (10%)*

75

4. PPh Badan (15%)

112

*bersifat final

  • Deviden diterima

675

  • Deviden diterima

637

 

                Apabila dilakukan penghitungan, maka total beban pajak pada Wajib Pajak OP adalah sebesar 325.000.000 (poin 2 + 4) dan tarif pajak efektifnya adalah 32.5% (325.000.000 / poin 1).

  • Full Imputation dan Partial Imputation System

Pemikiran bahwa secara ekonomi pengenaan pajak penghasilan pada perusahaan juga mengurangi nilai deviden yang akan dibagikan kepada shareholders menjadi salah satu latar belakang penerapan  full imputation dan partial imputation system. Negara -- negara seperti Australia, Spanyol dan New Zealand menerapkan sistem Full Imputation. Sistem ini memberikan tax credit / pengurangan terhadap pajak deviden di tingkat shareholder dengan pajak penghasilan yang sudah dibayarkan di tingkat perusahaan. Di Australia, deviden semacam ini disebut dengan Franked Deviden.

Sistem Partial Imputation digunakan di Kanada, United Kingdom dan Perancis. Pada sistem ini tax credit yang diberikan sebagai pengurang pajak deviden adalah sebesar sejumlah presentase dari pajak penghasilan yang telah dibayar oleh perusahaan.

  • Total Exemption dan Partial Exemption System

Pandangan economic double taxation juga mendasari penerapan Total Exemption dan Partial Exemption System. Sistem Total Exemption hanya mengenakan pajak pada level penghasilan perusahaan dan membebaskan pajak deviden pada level shareholder. Sistem ini dianut oleh Yunani.

Partial Exemption System, yang dijalankan oleh Jerman dan Luxemburg, mengurangi tax base pada level shareholder sebesar persentase dari jumlah deviden yang diperoleh (half imcome tax method).

Ilustrasi Perbandingan :

Classical
Modified Classical
Full Imputation
Partial Imputation
Total Exemption
Partial Exemption
1
Profit
100
100
100
100
100
100
2
Corporate Income Tax (%)
35
35
35
35
35
35
3
Net Profit (1-2)
65
65
65
65
65
65
4
Devidend Tax Base
65
65
100
100
0
32.5
5
Dividend tax
40% normal
20% reduced
26 (40%)
13 (20%)
40
40
0
13
6
Tax Credit

35
17.5

7
Effective Dividend tax Paid (5-6)
26
13
5
22.5
0
13
8
Net Dividend (3-7)
39
52
60
42.5
65
52

Sumber : Lazar, Sebastian. 2010. "Double Deviden Taxation Relief: A New View From The Corporate Income Tax Perspective". Iasi. AI. I. Cuza University

                Pada tabel di atas terlihat bahwa Deviden bersih tertinggi yang diterima shareholder adalah melalui sistem Total Exemption yang memang tidak mengenakan pajak pada level shareholder sama sekali. Peringkat kedua adalah sistem Full Imputation, yang memberikan fasilitas kredit pajak dari pajak penghasilan perusahaan yang telah dibayarkan. Indonesia sendiri tergolong mengunakan sistem modified classical, dengan tarif pajak yang lebih rendah dari model perhitungan di atas.

                Sesuai dengan pandangan bahwa economic double taxation adalah sebuah masalah, Benjamin Mahr (2004) menyatakan bahwa double taxation dapat menyebabkan distorsi ekonomi antara lain berupa :

  • Kecenderungan perusahaan untuk lebih memilih utang daripada ekuitas dalam struktur modal mereka. Perusahaan dengan tingkat utang tinggi secara umum lebih mudah terpengaruh oleh penurunan ekonomi dan lebih mudah menderita kebangkrutan
  •  Meningkatnya pemain saham spekulatif, yang lebih tertarik dengan harga saham daripada earning perusahaan, yang akan memicu harga saham yang lebih tidak stabil karena lebih mengharapkan quick capital gain.
  • Berkurangnya Investasi, karena double taxation secara umum menyebabkan bias terhadap keputusan untuk melakukan atau menanamkan sebuah investasi.

Miller dan Modigliani (1958) menyatakan bahwa keuntungan pengembalian pajak dari pembiayaan utang lebih besar dari pembiayaan modal (ekuitas). Elton dan Gruber (1970) bahkan menyatakan bahwa personal taxes mengakibatkan deviden menjadi kurang bernilai dibandingkan dengan capital gain.

Dengan melihat perbandingan beberapa sistem pengenaan pajak deviden di dunia, dan hasil dari beberapa penelitian, penulis merasa bahwa sudah saatnya Indonesia bergerak menuju perubahan sistem pajak deviden. Perubahan tersebut menurut penulis diperlukan, untuk meningkatkan ketertarikan pemilik modal untuk berinvestasi, membuat harga saham di pasar modal lebih stabil, dengan tetap memperhatikan unsur penerimaan negara.

Penulis menilai unsur pengenaan pajak di tingkat pemegang saham tetap diperlukan (bukan mengunakan total exemption system) karena selain sebagai sumber penerimaan negara, pajak juga dapat digunakan sebagai alat pengendali terhadap suatu objek pajak. Pajak juga mempunyai fungsi redistribusi pendapatan. Apabila pada satu titik pajak ditiadakan pada satu objek pajak, secara politis akan berat untuk mengenakan kembali pajak pada objek tersebut. Sistem imputation dirasa penulis lebih cocok untuk diterapkan, namun memang dengan konsekuensi administrasi pajaknya akan lebih kompleks apabila dibandingkan dengan sistem modified classical yang telah dijalankan sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun