Sejak seminggu ini saya lihat perempuan yang umurnya, jika dilihat dari wajahnya - lima tahunan lebih tua dariku, berdiri di sebelah kanan pintu gerbang sekolah. Wajahnya sekilas memancarkan kesedihan akut. Ia selalu berdiri di situ ketika saya melewatinya saat pulang.
"Saya lihat perempuan dengan tas di tangannya berdiri seperti menunggu. Di sebelah kanan gerbang sekolah. Seminggu ini"
"Bukankah itu hal yang biasa Pak? Banyak orang tua yang menunggu kepulangan anaknya. Di sekitar pintu gerbang. Tak mau anaknya celaka gara-gara bawa kendaraan sendiri. Sementara naik angkot atau aplikasi online ya kadang was-was. Lebih aman dijemput." ujar Bu Rodiyah, guru Bahasa Jawa yang baru saja menikah kali kedua.
Saya menggeleng.
"Ingat istri di rumah Pak Syafik" ujar Ust. Sanih sembari terbahak.
Ruang guru yang tadi sepi kini dipenuhi tawa. Saya akhirnya tertawa. Meskipun sekadar basa-basi saja.
Itulah kali pertama saya membicarakan perempuan itu. Yang hasilnya justru menjadikan saya badut.
Sore itu saya harus mencari jawaban. Supaya tuntas pertanyaan yang bercokol di kepala.
"Bagaimana mungkin kehadirannya tidak mengusik perhatian mereka" ujar saya pada bayangan saya depan cermin.
"Tuntaskan rasa penasaranmu!" begitu bayangan saya menggedor kepala.
Saya berjalan menyusuri koridor. Beberapa siswa yang masih mengerjakan majalah dinding di sekolah menyalamiku.