Selingkuh yang paling indah itu ya di warung kopi. Ujar salah satu kawan. Saya terusik. Melihat saya yang bingung, kawan itu tertawa. Setelah reda, ia menunjukkan sebuah puisi padaku.
halo apa kabar/buatkan aku secangkir kopi/dan tolong beri tahu/pasword wifi - KEPADA WARUNG KOPI -milik- Pana Pramulia
Coba sampeyan pahami puisi itu. Sederhana tapi mengena. Saya yang suka nulis puisi tapi jarang baca puisi, berusaha mengira kemana jalan pikiran kawan saya tersebut.
Makanya, silakan nulis puisi. Tapi jangan lupa baca puisi juga. Supaya tidak narsistik. Ia tertawa. Saya bersungut-sungut.
Saat ini, kita kalau ke warung kopi tujuan utamanya bukan ngopi. Tapi wifi-an kan? Puisi itu dengan telak menunjuk realitas itu. Lihat trend sekarang. Bukan warung kopi namanya jika tak ada wifi. Jikapun ada yang tanpa wifi, lihat yang nongkrong. Sudah pasti melompong atau orang yang sudah bau tanah. Kembali kawan saya itu terbahak-bahak.
Saya tiba-tiba merasa ngilu. Kawan saya telah pergi setengah jam yang lalu. Kopi dihadapanku tinggal separuh. Sementara uang di kantong tidak cukup untuk beli sebatang rokok. Kuambil saja gawai yang tergeletak di meja. Lalu bertanya pada anak kecil di sebelah, yang ribut main game online.
Dari arah kanan, si penjaga warung kopi langganan saya ini memberikan secarik kertas.
--ketik saja: kabardariwarungkopi/ tanpa spasi dan hurufnya kecil semua// KABAR DARI WARUNG KOPI -milik- Pana Pramulia.
Sidoarjo, 21/10
Cerita ini sebagai perayaan atas terbitnya antologi puisi milik kawan seperjuangan. Judul bukunya: KABAR DARI WARUNG KOPI.