Mohon tunggu...
Pak Dhe  Gondo
Pak Dhe Gondo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidup Tanpa Penghasilan Itu Menyakitkan

2 Oktober 2017   10:40 Diperbarui: 2 Oktober 2017   13:42 2049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
menganggur itu seperti setengah gila, tidak berpenghasilan itu setengah mati

Hidup tanpa penghasilan itu sungguh menyakitkan. Percaya atau tidak, tidak perbenghasilan alias bokek, tidak punya uang sepeserpun itu membuat semua tindakan yang akan dan sudah kita lakukan menjadi serba salah. Seolah kita ditertawakan setiap orang. Dicemooh setiap orang, bahkan dalam kondisi paling puncak kita ditertawakan oleh diri kita sendiri. Meski penyebab tidak berpenghasilan itu macam-macam, tidak sama penyebabkan antara satu orang penganggur dengan penganggur yang lain.

Tetapi, dampak dari menganggur alias tidak memiliki pekerjaan yang berujung tidak berpenghasilan itu jatuhnya sama. Kerdil, salah tingkah, penakut, minder, dan seolah semua yang kita lakukan keliru. Salah....

Bahkan, diri kita sendiri turut menghakimi, apa yang kita perbuat serba salah, akibat tidak berduit nan miskin. Tidak bekerja, atau fakir, masih memiliki derajat yang jauh lebih mentereng di pergaulan umum, karena kita bisa berkilah pengangguran atau fakir belum tentu miskin atau tidak punya uang.

Sudah tidak punya uang tidak memiliki prasarana pergaulan, tanpa fasilitas, tidak punya akses, waouu ...dunia menjadi semakin gelap saja. Ingin mati saja rasanya. Tetapi sejujurnya tidak ingin mati betulan, hanya rasa rasanya puncak frustasi itu membuat satu kesimpulan naif yakni mati. Padahal dibalik kalbunya yang dalam, dalam kondisi seperti ini kita ingin segera bangkit kembali dan bisa menikmati hidup dengan segala balas dendamnya, setelah berkecukupan. Itu khayalan, pendedam yang tengah dilanda krisis tanpa penghasilan. Tanpa aktivitas, tanpa akses, tanpa kawan.

Dan yang lebih menyakitkan, istri anak dan anggota keluarga yang lain, bersikap sinis, berucap satir, berseloroh menyakitkan, dan kita tidak lagi mendapatkan ruang yang terhormat di tengah mereka. Karena tidak berpenghasilan, kita bisa sesak nafas di tengah istana kita sendiri. Di ruang istirahat kita sendiri, di samping anak dan istri kita sendiri.

bayangkan, hanya dimintai uang jajan saat anak mau berangkat sekolah saja tak mampu, betapa pedihnya hati ini. Hanya ingin menghisap sebatang rokok murahan saja tidak mampu, padahal mulut sudah terasa begitu kecut. Betapa pedihnya. Hanya diminta tagihan seikat sawi putih oleh tukan sayur, senilai 12.000 rupiah saja tidak mampu, betapa nestapanya hidup.

Saat itulah, kita baru mengakui, kita ini tidak lebih terhormat dibanding bangkai tikus, kita tidak lebih sedap dibanding sampah comberan., kita hanyalah seonggok daging bernyawa yang tidak berdaya. 

Dan yang lebih menyakitkan, saat berada dipuncak ketidak berdayaan kita mencoba bermunajad kepada allah sang pencipta alam semesta, bersujud dengan penuh khusuk sembari berlinang air mata memohon datangnya kepingan kepingan uang, syukur lembaran lembaran uang kertas ratusan ribu, kita ditertawakan oleh diri kita sendiri. " Ahhh... ente, bersujud saat jatuh melarat, bersujud kok minta duit, minta dilunaskan hutang hutangnya, minta dibayarkan spp anaknya, minta diberi uang berlebih agar bisa menyenangkan hati istrinya, biar bisa membayar biaya facial wajah istrinya, huhhhh, memalukan," kata kolbunya sendiri.

Usai bersujud, betapa maluka kita. Coba bayangkan, bersujud saja dicemooh. Bermunajad saja dicibir, meski oleh dirinya sendiri. 

Maka, kemudian seluruh langkah tindakan dan aksi kita di tengah kehidupan nyata menjadi serba salah. salah tingkah, dan serasa ditelanjangi oleh publik untuk dipertontonkan di tengah khalayak. 

Bukan itu saja, betapa menyakitkannya hidup tanpa penghasilan. Tidur berdua dengan istri pun tidak punya kekuatan meski hanya ingin menyentuh ujung jarinya. jangankan mencium keningnya, membelai rambutnya saja serasa butuh biaya mahal, puluhan juta, sementara kita tidak punya duit sepeserpun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun