Mohon tunggu...
Muhammad Harpani
Muhammad Harpani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Baca - Tulis - Gambar

Belajar Konsisten, Abaikan Mood

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"Negeri 5 Menara:" Visualisasi Mantra Man Jadda Wa Jada

8 April 2012   16:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:52 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kecenderungan untuk mengadaptasi (enkranasi) sebuah novel menjadi film, mendekati tahun-tahun terakhir, semakin sering terlihat di tanah air. Bila ditarik ke belakang, maka akan kita temui Judul-judul seperti Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman el Shirazy), Ketika Cinta Bertasbih (Habiburrahman el Shirazy), Perempuan Berkalung Sorban (Abidah El Khalieqy), Laskar Pelangi (Andrea Hirata) dan yang paling anyar tentu saja Negeri 5 Menara (Ahmad Fuadi).

Tak seperti film lain yang hanya menyisakan kesan secara emosional, maka film Negeri 5 Menara melengkapinya dengan sebuah mantra yang dapat dibawa pulang oleh penonton. Man Jadda Wa Jada – siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan berhasil. Jangan pernah meremehkan impian yang tinggi.

Film ini mengisahkan tentang perjuangan seorang Alif (dibintangi oleh Gazza Zubizzaretha) mengalahkan 'musuh' yang mendiami egonya. Ia ingin masuk ke sekolah umum dan meneruskan ke ITB demi menggapai impian seperti idolanya BJ Habibie. Namun, ia menjadi murung dan sangat kecewa dengan keinginan Sang Amak (Lulu Tobing) yang menghendaki agar dirinya masuk pesantren, agar kelak menjadi orang yang pandai agama seperti Buya Hamka.

13339028601361837248
13339028601361837248

Setting panorama Danau Maninjau yang indah dan bagaimana suasana tahun 80-an dapat dihadirkan, terutama saat Sang Ayah (David Chalik) mengantarkan Alif dari daerah asalnya Padang, ke desa pelosok di Ponorogo cukup membuat 'klik' di hati penonton di awal film.

Tiba di pesantren, Alif merasakan sesuatu yang berbeda. Pondok Madani yang ia jejaki, benar-benar memberikan semangat yang baru. Apalagi setelah secara tidak sengaja, insiden hukuman jewer berantai akibat terlambat masuk ke ruangan, mempertemukan Alif dan kemudian menjadi akrab bersama lima orang temannya : Said (Ernest Samudra), Atang (Rizki Ramdhani), Baso (Billy Sandi), Dulmajid (Aris Adnanda Putra) dan Raja (Jiofani Lubis) yang kemudian dikenal sebagai Sahibul Menara.

Oya, sang kakak tingkat penegak disiplin, Tyson sangat pas sekali. Siapa ya pemerannya, udah ngubek sana-sini nggak dapet namanya L. Soalnya Wajahnya orisinil dan galak banget!

13339025851736895525
13339025851736895525

Adegan selanjutnya adalah saat Ustadz Salman, memotong kayu dengan menggunakan pedang yang tumpul lagi berkarat. Saya lihat, wajahnya sedemikian alami dan serius berjuang untuk memotong kayu tersebut. Dan belakangan saya paham, mengapa kesan tersebut tertangkap sempurna oleh kamera.

Rupanya, dari pengakuan Donny Alamsyah (pemeran Ustadz Salman) ia sudah membayangkan bakal berat memotong kayu dengan pedang berkarat. Jadi kalo kemudian, penonton (termasuk saya) melihat begitu alami adegannya, ya karena memang asli capek! Hehehe.. Salut untuk Bung Dony.

Persahabatan Sahibul Menara, mewarnai seluruh adegan film ini, sejak Alif resmi diterima di Pondok Madani. Dan puncaknya, menurut saya inilah klimaks film ini yang saya jamin memeras air mata, saat Baso yang juara kelas, terpaksa pulang ke Gowa karena harus mengurus neneknya yang sakit keras. Terlihat sekali saat deraian air mata Sahibul Menara mengantar kepergian Baso. Benar-benar memancing air mata meleleh.

Saya katakan film ini bagus. Baik dari cerita maupun dari segi sinematografi. Bagi yang mulai melek dengan buku-buku motivasi, maka film ini bisa jadi referensi videonya. Bukankah ilmu yang bertutur dengan cerita lebih mudah diambil hikmahnya?

Saya sudah baca kedua bukunya, baik Negeri 5 Menara maupun Ranah 3 Warna. Memang ada beberapa bagian yang hilang. Tentang hal ini, A Fuadi (sang penulis) sendiri mengakui, "(Film) ini disebutnya adaptasi ke film, ada yang kemudian disesuaikan dengan bahasa film. Salman Aristo, sebagai penulis skenario rupanya juga melakukan beberapa perubahan. Ada yang dibuat berbeda sedikit atau ada yang ditambahi atau dikurangi”.

Saya pikir, tak perlulah menggugat film hasil adaptasi (enkranasi) yang tak sesempurna novelnya. Lagipula film luar negeri seperti The Three Musketeer (1993 / Alexandre Dumas) pun menuai protes karena ada bagian penting yang menurut penonton dihilangkan dari novel aslinya.

Apa yang tertuang dalam film inilah hasil interpretasi sutradara dan penulis skenario. Saya lebih suka memperlakukan film sebagai mahluk sendiri dari novelnya, sepanjang  tidak merubah esensi. Saya kira masih lebih buruk adaptasi film Dragon Ball Evolution (2009) dibanding film ini. Mengingat seharusnya adaptasi dari komik tentu tidak akan sulit karena sudah ada gambarannya langsung untuk menerjemahkannya menjadi bahasa film. Namun kenyataannya, kemudahan tersebut malah mempersulit kru film untuk membebaskan kreasinya dalam hal eksplorasi karena sudah terkungkung frame demi frame komik aslinya.

Lagi pula, mengharapkan film menjadi sama persis titik-koma dengan novel, lantas apa bedanya?  Tidak ada kenikmatan baru dan kejutan-kejutan kecil bagi penonton untuk mendapatkan scene tambahan.

13339014571570474226
13339014571570474226

Bagi saya Negeri 5 Menara berhasil menghadirkan suasana dalam novel tersebut dan menanamkan mantra sakti Man Jadda Wa Jada! Ayo ke bioskop, kita nonton lagi :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun